Namun setelah angkot berlalu, terlihat olehku beberapa polisi membagikan angpao kepada setiap pengemudi yang melintas. Sontak saja si supir menggerutu kesal. Pihak kepolisian membagi-bagikan angpao secara cuma-cuma kepada semua masyarakat yang melintas. Tampaknya ia menyesal sudah berada di jalur yang salah dan tak kebagian angpao gratis. Â
Aku menyadari, secara tak langsung pemandangan kocak dan menggelitik tadi merupakan simbol penghargaan terhadap saudara Tionghoa yang merayakan imlek. Lewat cara demikian, masyarakat Medan disadarkan bahwa angpao bukan barang yang aneh dan bukan hanya milik etnis Tionghoa saja, melainkan milik masyarakat Medan yang beragam. Dengan penerimaan angpao oleh masyarakat, menurutku masyarakat Medan telah menerima dan menghargai perayaan imlek dalam bingkai kebhinekaan.
Tak ada perbedaan dan penolakan yang kuamati. Aku bersyukur dengan secerca kecil cerita imlek dalam bingkai kebhinekaan yang masih dijunjung tinggi. Aku berharap secara sadar maupun tidak, kita harus saling menerima, menghargai dan menghormati setiap perbedaan yang ada diantara kita karena bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Â Â