Mohon tunggu...
Arsya Zharif Rusydi
Arsya Zharif Rusydi Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Brawijaya, Program Studi Sosiologi

menulis dan berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kerja Sama Lintas Iman Sebagai Modal Sosial Berbasis Etika Pancasila

17 Juni 2025   11:25 Diperbarui: 17 Juni 2025   11:21 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar :  Toleransi Antar Umat Beragama. Sumber: papua.us (2017)

           

Pancasila sering disebut sebagai dasar negara, namun lebih dari itu, ia juga merupakan sistem etika yang menyusun dan menuntun perilaku masyarakat Indonesia. Dalam konteks sosial yang kompleks dan multikultural seperti Indonesia, Pancasila berfungsi bukan hanya sebagai simbol persatuan, tetapi sebagai perangkat nilai untuk menopang dan membentuk relasi sosial. Namun, pertanyaan kritisnya adalah sejauh mana Pancasila benar-benar dihayati dan diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, terutama di tingkat akar rumput.

Pancasila sebagai sistem etika menyusun norma-norma moral yang tidak hanya bersifat personal, tetapi juga sosial-komunal. Salah satu bentuk implementasinya, terlihat dalam kehidupan masyarakat Pemenang Timur yang dihuni oleh komunitas Islam, Hindu, Buddha, dan Kristen, nilai-nilai etis Pancasila hadir melalui relasi sosial yang terbuka, suportif, dan tidak diskriminatif. Penerapan etika ini tampak dalam tindakan nyata seperti membantu pembangunan tempat ibadah lintas agama atau mengirim makanan saat perayaan keagamaan. Hal ini menunjukkan bahwa etika Pancasila tidak berhenti pada tataran wacana moral, tetapi menjelma sebagai etika relasional yang mendorong tindakan nyata demi harmoni sosial

Sila pertama dalam Pancasila mengandung makna bahwa kehidupan berbangsa harus dilandasi oleh pengakuan terhadap nilai-nilai spiritual dan pengakuan terhadap eksistensi Tuhan menurut keyakinan masing-masing. Namun lebih dari sekadar pengakuan individual terhadap Tuhan, sila ini juga memuat etika transendental yang mewajibkan sikap hormat terhadap ekspresi keagamaan lain. Dalam praktik di Desa Pemenang Timur, nilai ini dilihat melalui keterlibatan warga berbagai agama dalam kegiatan keagamaan lintas iman, seperti gotong royong membangun tempat ibadah dan saling berbagi makanan saat perayaan hari besar agama lain. Ini merupakan bentuk nyata dari sikap religius yang terbuka dan inklusif, di mana spiritualitas tidak menjadi tembok pemisah, tetapi justru menjadi jembatan interaksi sosial.

Secara etis, praktik ini menunjukkan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa tidak berhenti pada urusan personal antara manusia dan Tuhan, melainkan harus tercermin dalam relasi sosial yang menjunjung tinggi martabat setiap pemeluk agama. Dalam teori etika normatif, hal ini sejalan dengan prinsip deontologi Kantian, yakni bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sebagai alat. Toleransi di Desa Pemenang Timur tidak bersifat pasif, melainkan aktif sebab warga tidak hanya "membiarkan" perbedaan, tetapi secara sadar "merawat" perbedaan itu. Bentuk ini mengoreksi interpretasi sempit terhadap sila pertama yang kerap hanya dimaknai secara formal atau ritualistik belaka

Sila kedua berakar pada nilai universal tentang penghargaan terhadap martabat manusia. Dalam kerangka etika, sila ini dapat dipahami sebagai representasi dari etika humanistik, yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai dan moral. Dalam konteks Desa Pemenang Timur, praktik kerja sama lintas iman tidak didasarkan atas kebutuhan praktis atau tekanan politik, melainkan atas dasar penghormatan timbal balik sebagai sesama manusia. Masyarakat tidak hanya bertoleransi secara normatif, tetapi juga membangun solidaritas antar-iman sebagai bentuk pengakuan atas nilai intrinsik dari setiap warga, terlepas dari agama yang dianut.

Secara kritis, sila kedua juga merupakan koreksi terhadap relasi sosial yang bersifat diskriminatif. Banyak konflik keagamaan di Indonesia justru muncul karena kegagalan dalam memanusiakan kelompok lain yang berbeda keyakinan. Maka, praktik warga Desa Pemenang Timur adalah bukti bahwa sila kedua dapat menjadi etika praksis yang memperhalus relasi sosial di tengah keberagaman. Nilai beradab di sini tidak berhenti pada sopan santun, melainkan pada kesediaan untuk menempatkan orang lain dalam posisi setara, bahkan dalam konteks yang sensitif seperti urusan keagamaan. 

 Sila ini sering dimaknai sebagai instrumen pemersatu bangsa, namun dalam praktik sosial, persatuan bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Ia harus dibangun secara sadar dan dijaga melalui nilai keadilan dan inklusi. Di Desa Pemenang Timur, bentuk persatuan tidak diwujudkan melalui penyatuan identitas, melainkan dalam semangat kebersatuan yang menghargai pluralitas. Masing-masing komunitas tetap mempertahankan identitas keagamaannya, tetapi memiliki kesadaran kolektif bahwa kebersamaan dalam perbedaan adalah kekuatan utama komunitas.

Secara etika, sila ketiga mencerminkan semangat etika komunitarian, yaitu etika yang menekankan pentingnya ikatan sosial dan solidaritas dalam menjaga tatanan hidup bersama. Praktik ini menolak pendekatan nasionalisme yang memaksakan keseragaman dan menindas kelompok minoritas atas nama persatuan. Dengan membangun relasi horizontal antar-agama, warga Pemenang Timur menunjukkan bahwa persatuan sejati lahir dari rasa saling memiliki, bukan dari dominasi mayoritas atau sekadar proyek integrasi dari atas. Kondisi ini menjadi pembelajaran penting bahwa Pancasila sebagai etika hanya dapat berfungsi jika ia diterjemahkan dalam praksis yang partisipatif dan egaliter.

Sila ini tidak hanya berbicara tentang sistem politik formal, tetapi juga memuat nilai etika deliberatif dalam relasi sosial. Permusyawaratan dalam Pancasila menuntut adanya sikap saling mendengar, terbuka terhadap perbedaan pandangan, dan mengutamakan kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan bersama. Di Desa Pemenang Timur, proses-proses musyawarah tidak hanya terjadi dalam forum resmi desa, melainkan dalam interaksi harian, seperti dalam penyelenggaraan kegiatan keagamaan bersama atau penyelesaian masalah sosial lintas komunitas. Hal ini mencerminkan etika dialogis yang tidak dogmatis dan menempatkan semua pihak sebagai subjek yang setara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun