Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sloganitas Pesan Berqurban

5 November 2011   10:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:02 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_146844" align="aligncenter" width="422" caption="Gambar: Kompas.com"][/caption]

Reflektor makna dan penguatan simbol-simbol Struggle of Life ala Nabi Ibrahim AS, akrab digaungkan dus diagungkan saban hari raya idul qurban. Sungguh, sebuah "kampanye" religi yang bernama keikhlasan dan kesabaran besar pada tiap insan walau setelah mereka beranjak meninggalkan lapangan peribadatan atau masjid, justru tembang-tembang puitis itu lenyap sekejap. Tarulah contoh ringan, pembagian daging hewan qurban sering menjadi auto-critic akan keengganan untuk bersabar dalam mengantri dan kerap diselingi suara-suara protes-lantang-teriakan di seputar penyembelian hewan qurban.

Paralelnya idioamatik dan slogan-slogan penyeru kemanusiaan itu, toh pemandangan maraknya si miskin papah yang residensinya setia di kolong jembatan, jua si sakit yang tiada mampu menjangkau layanan pengobatan. Toh masih kerap kita saksikan bersama. Inikah wujud dari "campaign" humanisasi selama ini?.

Hingga suatu waktu, penulis memberi tantangan kepada spesialis penyeru kemanusian untuk keimanan dan keyakinan agar menemani saya sekali saja ke tempat-tempat berkumpulnya berhala-berhala eksotisme, hedonisme. Berpuisilah di sana jika memang mengaku ingin mengubah manusia yang buruk akhlak menjadi baik akhlak, dari baik akhlak menjadi manusia dalam kesempurnaan akhlakul qarimah.

Sekali waktu, kubertanya. Mengapa saat tetangga miskin di sebelah yang sudah lama sakit, tiada ramai dikunjungi. Tetapi sebaliknya, seorang walikota yang hanya flu, betapa berjibunnya orang membezuknya. Bukankah ini diskriminasi dan berlindung dibalik pamrih?. Bukankah ini kita masih melanjutkan kultur labelisasi pada manusia, yang katanya semua manusia tiada beda di hadapan Allah.

Pelecut motivasi akan berqurban setinggi apa saja demi Kebertuhanan dan kemanusiaan seolah menjadi kisah-kisah dan cerita-cerita reguler yang tiada memantulkan perilaku apapun khusunya kepada kepedulian sesama makhluk. Cermin diri hanya terjaga saat-saat tertentu, dan cermin itu kembali retak oleh keangkuhan dan kesombongan makhluk bernama manusia.

Sekumpulan pencerahan-pencerahan tak lebih dari sebuah kaledioskop yang berabad-abad lamanya, ia melempeng, membias -jika enggan disebut sebagai nyanyian-nyanyian kenangan- diperdengarkan sekali setahun. setalhnya raib dan absurd. Begitulah puistisasi dan sajak-sajak idul adha, tak lebih dari bongkahan paragraf-paragraf intelektualisasi yang tiada mampu menginvitasi sekawanan emosional positif dalam mengejewantahkan dalam attitude dan behaviour humanistik.

Tak pelak lagi, arku-arku dedikasi itu kian rapuh tat kala kita mengintai dengan cermat seperti apakah yang telah dan sedang terjadi di seputar kita. Kelewat banyak orang berikrar untuk mewujudkan dan menghadirkan kepada apa yang digelari Change the world. Ya, dirinya hendak menyulap dan mengubah dunia menjadi lebih baik.

Dengan segala ini, saya memberikan satu kisah manusia lain yang awalnya bermimpi ingin mengubah dunia di usianya (20 tahun). Saat berusia 30 tahun, belum ada sinyal sedikitpun bahwa ia telah melakukan sesuatu untuk mewujudkan mimpinya. Ia turunkan jangkauannya dengan skala mengubah negara lebih baik. Apa yang terjadi, di usia menukik ke-50 tahun, ia belum berkreasi apapun. Iapun kembali memundurkan target, mengubah masyarakat di sekitarnya. Alamak, dalam hitungan usia menjelang 60 tahun, iapun tak memiliki kontribusi apa-apa terhadap masyarakat sekitarnya dan juga keluarganya.

Finally. Ia kalah. Ia memutuskan untuk mulai mengubah dengan starting on his self. Yah dari dirinya sendiri. Sayang sekali, konsep dan teknik ini telah sangat telat. Sebab idealnya, perubahan dunia senantiasa terjadi dimulai pada perubahan kecil yang dipermula dari diri kita sendiri. Serupa itulah pesan-pesan para Sang Bijak. Wallahu A'lam Bissawab.

Selamat Idul Adha

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun