Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Presidential Threshold, Siapa Menabur Angin Dialah yang akan Menuai Badai

8 November 2021   18:28 Diperbarui: 8 November 2021   19:04 2205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kartu suara Pilpres 2009 (Sumber: jakartatimur.kpu.go.id)

Belakangan ini soal presidential threshold, atau ambang batas calon presiden kembali ramai diperbincangkan. Mereka menuding partai politik yang memiliki banyak kursi di parlemen ingin tetap mempertahankan hegemoninya, terutama di eksekutif tentu saja.Tentunya yang menjadi sasaran tembak mereka adalah PDI-Perjuangan yang sudah dua periode ini berkuasa.

Sementara parpol yang paling keras menuntut perubahan presidential threshold agar diturunkan, bahkan sampai tidak diberlakukan lagi, adalah partai politik menengah. Seperti PKS, PAN, dan Demokrat.

Padahal jika menengok ke belakang, ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) pertama kali diterapkan pada Pemilu 2004 lalu. Setiap partai politik ketika itu boleh memilih, mau pakai threshold yang mana. Apakah persentase jumlah suara atau persentase jumlah kursi.

Saat itu, UU Nomor 23/2003 tentang Pilpres mengaturnya di Pasal 5 Ayat (4): "Pasangan Calon... hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurangkurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR."

Dengan angka tersebut, mestinya jumlah pasangan capres/cawapres saat itu tak akan terlalu banyak. Se bab, hanya dua partai yang benar-benar bisa melampauinya, yaitu Partai Golkar dan PDIP. Partai-partai lain mungkin saja berkoalisi, dan bila melihat hasil pemilu, maksimal hanya akan muncul empat pasangan capres/cawapres.

Namun, nyatanya, jumlah pasangan calon saat itu lebih dari empat. Itu karena UU No 23/2003, pada ketentuan peralihan Pasal 101, memperlunak syaratnya: "Khusus untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan suara pada Pemilu anggota DPR sekurang-kurangnya 3 persen dari jumlah kursi DPR atau 5 persen dari perolehan suara sah secara nasional hasil Pemilu anggota DPR tahun 2004 dapat mengusulkan Pasangan Calon."

Kemudian pada Pemilu 2009 dan 2014 lalu, ambang batas tersebut dinaikkan. Kedua pilpres tersebut memakai undang-undang yang sama sebagai alas hukumnya, yaitu UU No 42/2008 tentang Pilpres. Pasal 9 UU itu menyatakan:

"Pasangan Calon diusul kan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden."

Begitu juga dengan pemilihan presiden tahun 2014, yang digelar pada 9 Juli 2014, masih tetap berdasarkan UU nomor 42/2008. Sehingga syarat presidential threshold bagi parpol untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden sama dengan Pilpres 2009.

Dari sinilah kiranya yang menjadi pangkal penyebab hingga sekarang ini persoalan ambang batas pencalonan presiden menjadi ramai diperbincangkan. Terlebih lagi setelah UU nomor 7 tahun 2017 syarat ambang batas pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang diusulkan partai politik tetap sama dengan pelaksanaan Pilpres 2014. Hanya bedanya pada perhelatan pesta demokrasi 2019, selain pemilihan presiden juga bersamaan dengan diselenggarakannya pemilu DPR, DPD, dan DPRD secara serentak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun