Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ibarat Terjebak dalam Labirin Tak Berujung

9 Agustus 2021   15:00 Diperbarui: 18 Agustus 2021   10:03 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penulis tua (Sumber: pexels.com)

Suatu ketika. Kita sedang menikmati senja di tengah kota besar - seperti di bundaran HI, Jakarta, misalnya, dan sebelum munculnya pandemi laknat Covid-19 sekarang ini, tentu saja.

Sebagai seorang pendatang baru di kota tersebut, apalagi jika kita datang dari pelosok kampung nun di pedalaman, dan masih tertinggal jauh peradabannya, sudah pasti mata kita akan dibuat terpesona tiada tara. Melihat segala yang tampak di sekitarnya.

Sebagaimana seorang Matias Akankari, tokoh dalam cerita pendek dengan judul yang sama dengan nama tokohnya yang ditulis oleh mendiang Gerson Poyk - salah seorang penulis di negeri ini yang berasal dari Nusa Tenggara Timur. Termasuk salah satu penulis yang dianggap sebagai guru oleh saya.

Alkisah, seorang prajurit TNI yang ikut berjuang saat operasi Trikora di Irian Barat, yang di masa Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid, diganti namanya menjadi Papua, terjebak dan mengalami kecelakaan di tengah hutan-belantara setelah parasut yang digunakannya tersangkut di atas pohon.

Nasib prajurit itu tidaklah sampai berlama-lama menderita di tengah belantara Papua. Dia ditemukan seorang warga pedalaman yang masih berkoteka. Bernama Matias Akankari. Matias menolong, merawat, dan mengantarkan prajurit tersebut ke induk pasukannya. Dan sebagai rasa terima kasihnya, Matias dibawa ke Jakarta.


Betapa Matias tak hentinya memandangi suasana sekitar tempat sekarang dirinya berada yang jauh berbeda dengan keadaan alam tempat tinggalnya nun di pedalaman Papua.

Jika di tempat tinggalnya dipenuh-tumbuhi pepohonan yang menjulang tinggi dengan dedaunannya yang rimbun hingga sinar matahari kesulitan menembusnya, sedangkan di kota metropolitan Jakarta dipenuhi oleh bangunan beton yang juga menjulang tinggi yang dihiasi cahaya lampu gemerlapan.

Begitulah.

Tampaknya hampir sama apa yang dirasa Matias Akankari dengan suasana batin tokoh ilustrasi dalam tulisan ini. Sama-sama sebagai pendatang yang berasal dari daerah pedalaman, dan baru untuk pertama kalinya berada di kota besar seperti Jakarta.

-

Sebagai pendatang baru, selain banyak menemukan hal-hal yang baru dilihat dan dirasakan, sudahlah pasti tokoh kita pun sama sekali belum mengetahui arah jalan kemana yang menjadi tujuannya. Apalagi dalam petualangan di kota besar itu tokoh kita ini tak seorangpun yang menemani.

Sementara itu, selain hanya berjalan seorang diri, dia pun selalu saja terkecoh oleh jawaban orang yang dimintai petunjuk arah jalan yang hendak ditujunya. Memang ada di antaranya yang menunjukkan arah, tapi... Sungguh, begitu banyak nama jalan yang disebutkannya. Begitu juga banyak sekali belokan dan perempatan maupun pertigaan yang harus dilewati.

Sehingga tak pelak lagi, ia pun malah justru menyusuri lorong-lorong jalan kecil di pemukiman warga yang begitu padat. Sementara orang-orang yang dijumpainya menatap dengan penuh curiga.
Ia merasa telah terjebak di belantara keramaian kota Jakarta, dan tanpa dinyana sampai bisa memasuki lorong-lorong gang sempit yang berputar tanpa ujungnya.

-

Begitulah. Begitu rasanya ketika pertama kali resign dari pekerjaan yang cukup lama dijalani, tiba-tiba harus memasuki suasana batin yang sama sekali belum pernah ditemui sebelumnya.

Ya, bagaimanapun selain bercampur-gaul dengan banyak orang, baik dengan rekan kerja di kantor, maupun dengan berbagai kalangan di lapangan, juga hampir setiap hari menemukan hal-hal yang baru dalam kehidupan, tetiba harus tinggal di rumah tanpa tahu apa yang harus dilakukan.

Cukup lama juga aku merasa terjebak dalam labirin yang seakan tak berujung itu. Kalau tak salah hitung, hampir sekitar tujuh bulan.

Baru ketika aku merenung dan melakukan instrospeksi diri, bagaimana pun tokoh life must go on. Apapun yang terjadi.

Hanya saja, ya begitulah. Untuk kembali beraktivitas dalam suasana yang sama sekali baru, ternyata harus cukup banyak berkompromi dan memaklumi.

Sungguh. Dalam keterbatasan ruang dan waktu, serta anggaran yang pas-pasan, ditambah usia yang semakin tua, terbukti memposting tulisan di K juga sampai saat ini begitu banyak kesulitan ditemui. 

Akan tetapi, semangat ini masih tetap menyala. Sekalipun angin seakan tiada hentinya bertup kencang. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun