Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Sejauh Mana Tanggung Jawab Kemendagri dengan Identitas Buronan Djoko Tjandra?

7 Juli 2020   12:43 Diperbarui: 7 Juli 2020   12:57 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Djoko Tjandra (Kompas.com/DANU KUSWORO)

Djoko Tjandra, terpidana yang menjadi buronan kasus Cessie, atau pengalihan hak tagih Bank Bali, kembali jadi perbincangan setelah diketahui sudah berada di Indonesia sejak tiga bulan lalu.

Sebagaimana diketahui Djoko Tjandra merupakan satu dari sejumlah nama besar yang terlibat dalam kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.

Direktur PT Era Giat Prima itu dijerat dakwaan berlapis oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ridwan Moekiat. Dalam dakwaan primer, Djoko didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi berkaitan dengan pencairan tagihan Bank Bali melalui cessie yang merugikan negara Rp 940 miliar.

Hanya saja dalam perjalanannya, kasus tersebut penuh dengan lika-liku yang penuh dengan 'kejutan' dalam sejarah peradilan di negeri ini.

Betapa tidak, dakwaan tindak pidana korupsi sebagaimana yang menjadi tuntutan JPU, baik di tingkat pengadilan negeri (PN), pengadilan tinggi (PT), hingga mahkamah agung (MA), menolak dakwaan jaksa penuntut umum, lantaran hakim yang menangani kasus tersebut sepakat bahwa kasus Cessie Bank Bali merupakan kasus perdata.

Baru setelah jaksa mengajukan PK terhadap putusan kasasi MA terkait dengan terdakwa Djoko yang dinilai memperlihatkan kekeliruan yang nyata, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman terhadap Djoko dan mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, masing-masing dengan pidana penjara selama dua tahun.

Mereka terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam perkara pengalihan hak tagih piutang (cessie) Bank Bali.

MA juga memerintahkan dana yang disimpan dalam rekening dana penampungan atau Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas untuk negara.

Akan tetapi, Djoko diketahui pada 2009 lalu telah melarikan diri ke Papua Nugini sebelum dieksekusi. Bahkan kemudian Djoko Tjandra pun pindah kewarganegaraannya menjadi WN Papua Nugini.

Sehingga apabila kemudian diketahui Djoko Tjandra kembali ke Indonesia, dan sebagaimana dikatakan Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR di Kompleks Parelemen, Senayan, Jakarta, Senin (29/6/2020), buronan kelas kakap itu sudah tiga bulan keberadaannya di Indonesia ini, maka suka maupun tidak,  pihak aparat keamanan dan penegak hukum telah kecolongan. 

Bahkan tidak menutup kemungkinan apabila buronan itu ada 'main mata', bahkan mendapat perlindungan dari oknum pejabat yang memiliki pengaruh besar.

Sebab apabila menyimak lika dan liku perjalanan kasus tersebut yang terjadi pada tahun 2000 hingga sekarang ini yang sudah 20 tahun lamanya, bisa jadi selain dianggap sebagai kasus korupsi yang begitu besar, juga melibatkan beberapa pejabat negara di dalamnya.

Bahkan dengan kemunculannya sekarang inipun, jelas di samping telah menimbulkan kegemparan, juga telah mengundang tanda tanya. 

Kenapa seorang Djoko Tjandra ini begitu mudahnya datang dan pergi tanpa diketahui aparat penegak hukum sama sekali. Apakah taipan ini memiliki "aji halimunan", yakni ilmu Kanuragan yang tidak bisa terlihat secara kasat mata oleh orang lain?

Entahlah. Hanya saja yang jelas, masih menurut Jaksa Agung, bahwa selama berada di Indonesia, Djoko Tjandra sempat mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta Barat, dan sebelumnya dia pun mendatangi  Pengadilan Jakarta Selatan untuk mendaftarkan PK kasusnya.

Sehingga dalam hal ini, tudingan masyarakat bahwa buronan yang dijuluki "belut" lantaran kelicinannya itu, memiliki backing dari oknum pejabat yang memiliki pengaruh besar di negeri ini semakin menguat saja.

Terlebih lagi dengan pengakuan Jaksa Agung yang menyatakan adanya "kelemahan" di pihak kejaksaan agung sendiri sehingga harus kecolongan dalam menangani buronan kelas kakap yang satu ini.

Demikian juga halnya dengan pihak Kementerian Dalam Negeri, apabila benar diketahui membuat e-KTP di Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta, Djoko Tjandra datang sendiri ke kelurahan bersama pengacaranya, artinya terdapat "kelemahan" juga di pihak Kemendagri.

Bukankah buronan kelas kakap itu sudah berpindah kewarganegaraan sejak kabur ke Papua Nugini juga?

Demikian juga halnya dengan pihak Kemenkumham, kenapa pihak Imigrasi sampai kecolongan juga, dan dengan gampangnya buronan kelas kakap itu bisa melenggang masuk kembali dengan begitu mudahnya. 

Sebagaimana juga yang pernah terjadi sebelumnya atas buronan kader PDIP, Harun Masiku yang terlibat kasus suap komisioner KPU.

Oleh karena itu, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, maupun Kejaksaan Agung, dituntut agar bertanggungjawab, dan melakukan "introspeksi" atas "kelemahan" yang terjadi di lembaga masing-masing.

Lantaran jika hanya sekedar mengakui "lemah" saja, masyarakat pun akan semakin jelas melihat apabila penegakan hukum di Indonesia ini masih tajam ke bawah, dan tumpul terhadap orang yang berduit. ***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun