Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Soal Agama Musuh Besar Pancasila, Lantaran Komunikasi atawa Media?

13 Februari 2020   16:57 Diperbarui: 13 Februari 2020   16:55 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kepala BPIP, Yudian Wahyudi (Detik.com)

Bom itu meledak, suaranya membahana. Semua mata mencari siapa yang menjadi penyulutnya. Tak memakan waktu lama, semua telunjuk menuding ke wajah Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi, yang juga rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Sebagian besar publik, termasuk banyak elit, mengkritisi pernyataan pengganti Yudi Latif itu. Bahkan tak sedikit yang menghujat, dibarengi tuntutan agar yang bersangkutan segera dipecat.

Terlebih lagi mereka yang selama ini ada di barisan "pembenci" pemerintahan Presiden Jokowi. Kontroversi pernyataan Kepala BPIP itu menjadi peluru kendali yang membombardir Istana dengan segala sumpah-serapahnya.

Sementara Wakil Presiden Ma'ruf Amin, mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), meminta Yudian untuk mengklarifikasi pernyataannya.

Benarkah seorang Kepala BPIP yang juga notabene pimpinan perguruan tinggi agama Islam telah membuat pernyataan yang begitu naif, dan dianggap melecehkan agama?

Andaikan saja dibaca, dan disimak secara utuh, pernyataan Kepala BPIP itu adalah sebagai berikut: "Yang saya maksud adalah bahwa Pancasila sebagai konsensus tertinggi bangsa Indonesia harus kita jaga sebaik mungkin. Pancasila itu agamis karena ke-5 sila Pancasila dapat ditemukan dengan mudah dalam Kitab Suci ke enam agama yang diakui secara konstitusional oleh NKRI. Namun, pada kenyataannya, Pancasila sering dihadap-hadapkan dengan agama oleh orang-orang tertentu yang memiliki pemahaman sempit dan ekstrim, padahal mereka itu minoritas (yang mengklaim mayoritas). Dalam konteks inilah, 'agama' dapat menjadi musuh terbesar karena mayoritas, bahkan setiap orang, beragama, padahal Pancasila dan Agama tidak bertentangan, bahkan saling mendukung."

Bisa jadi dalam hal itu, yang dimaksud "orang-orang tertentu" oleh Yudian, adalah mereka yang selama ini dikenal sebagai yang menganggap Pancasila sebagai Thogut. Berhala yang akan merusak kemurnian imannya.

Siapa lagi kalau bukan kelompok HTI, dan kelompok lain yang bercita-cita merubah bentuk Negara Kesatuan Republik indonesia (NKRI) ini sebagai negara khilafah, yakni sebuah sistem kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan hukum-hukum Islam.

Maka dalam menghadapi sesuatu permasalahan, terlebih lagi masalah yang dianggap begitu sensitif, janganlah terburu-buru mengedepankan sikap berburuk sangka. Apalagi dibarengi dengan kebencian yang membabi-buta.

Paling tidak, dengan membaca, atawa menyimak secara keseluruhan hingga tuntas pernyataan tersebut, sepertinya "bom" itu pun urung meledak. Karena sikap kita pun mungkin saja berubah menjadi bijak. Bak Kompi pasukan TNI AD yang disebut Kizi Jihandak.

Hanya mungkin saja memang karena selama ini bangsa Indonesia ini sudah terbiasa dengan makanan yang serba instan, terhadap sesuatu isu yang muncul di media pun begitu saja langsung ditelan.

Demikian juga halnya dalam kasus "Agama Musuh Besar Pancasila", entah karena hanya membaca judul dan paragraf pertamanya, entah karena memang dalam hatinya sudah tertanam kebencian terhadap yang bersangkutan, maka tak pelak lagi, Yudian Wahyudi yang 5 Februari 2020 lalu dilantik Presiden jokowi sebagai Kepala BPIP, langsung diserang dari segala penjuru.

Maka di sinilah kiranya publik dituntut untuk memilah dan memilih, serta bersikap dewasa agar menjadi bangsa yang mampu bersaing dengan bangsa lain yang sudah terlebih maju dalam sumber daya manusianya.

Kecuali bagi mereka, yang selama ini bersikap kontra terhadap pemerintahan Jokowi, dan yang sejak lama memang bercita-cita hendak merubah bentuk negara ini, tentu saja, akan lain lagi ceritanya.

Lalu kalau sudah clear begini, apakah media juga memiliki andil dalam mem-blow up pernyataan Kepala BPIP itu?

Tidak juga. Sebagaimana disebutkan Pepih Nugraha, salah seorang pendiri Blog Kompasiana ini, jangan juga serta-merta menyalahkan wartawan yang merekam pernyataan Yudian. Sebab, tidak tertutup kemungkinan ada "slip of tongue" saat memberi pernyataan tersebut tanpa penjelasan yang cukup, tanpa memberi konteks yang diperlukan untuk lebih memahami pernyataan tekstualnya.

Selain itu, ada banyak adagium di sana terkait kepentingan media masing-masing, bisa jadi karena punya nilai berita (news value) tinggi, karena akan mengundang klik yang masif (klikbait), atau secara politis media (dan wartawan di dalamnya) oposan terhadap narasumber yang kebetulan berasal dari pemerintah.

Barangkali dalam kasus ini, Yudian yang baru beberapa hari dilantik sebagai pejabat publik, mungkin saja masih gagap dalam menghadapi awak media. Karena selama ini yang bersangkutan sebagai seorang akademisi, terbiasa berbicara secara ilmiah.

Oleh karena itulah, komunikasi sebagai seorang pejabat publik yang dituntut mampu difahami oleh setiap strata masyarakat, baik para intelektual, elit politik, hingga petani di pelosok desa.

Paling tidak harus mampu membaca situasi dan kondisi. Dan dengan siapa kita berbicara. Terlebih lagi di depan awak media. Bukankah berita itu akan dibaca semua lapisan warga?***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun