Penilaian kebijakan merupakan suatu proses sistematis yang digunakan untuk mengevaluasi sejauh mana sebuah kebijakan publik berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Proses ini mencakup analisis atas efektivitas, efisiensi, relevansi, dan dampak kebijakan terhadap kelompok sasaran maupun sektor terkait. Penilaian kebijakan tidak terbatas pada tahap akhir implementasi, tetapi juga dapat dilakukan sejak fase perencanaan hingga pelaksanaan, sehingga memungkinkan adanya perbaikan berkelanjutan yang responsif terhadap dinamika sosial, ekonomi, dan politik. Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa kebijakan yang dibuat benar-benar memberikan manfaat nyata, bukan sekadar menjadi instrumen administratif semata.
Dalam konteks pemerintahan, penilaian kebijakan memiliki arti penting sebagai dasar pengambilan keputusan yang lebih rasional dan akuntabel. Hasil dari proses penilaian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pembuat kebijakan untuk mempertahankan, merevisi, atau bahkan menghentikan suatu kebijakan tertentu. Selain itu, penilaian juga mendorong praktik tata kelola pemerintahan yang lebih transparan dan partisipatif, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam menilai keberhasilan maupun kegagalan kebijakan yang telah dijalankan. Dengan demikian, penilaian kebijakan tidak hanya menjadi alat refleksi administratif, tetapi juga sarana pembelajaran institusional yang penting dalam pengembangan kapasitas birokrasi.
Penilaian kebijakan memainkan peran kunci dalam mengkaji bagaimana Indonesia mengelola keterlibatannya dalam perjanjian perdagangan regional terbesar di dunia tersebut. RCEP melibatkan berbagai negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik, sehingga memberikan tantangan sekaligus peluang besar bagi Indonesia dalam meningkatkan posisi tawarnya di tingkat regional. Melalui penilaian kebijakan, dapat dianalisis sejauh mana kebijakan pemerintah Indonesia dalam kerangka RCEP telah mempersiapkan sektor domestik untuk menghadapi persaingan global, sekaligus mengoptimalkan manfaat ekonomi yang dapat diperoleh dari kerja sama ini.
Penilaian kebijakan dalam konteks RCEP tidak hanya melihat pada aspek teknis atau administratif, tetapi juga mencerminkan komitmen Indonesia dalam memperkuat integrasi ekonomi kawasan secara berkelanjutan. Dengan pendekatan evaluatif yang cermat, pemerintah dan publik dapat memahami sejauh mana kebijakan perdagangan yang diterapkan telah mencerminkan kepentingan nasional, melindungi industri strategis, serta mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif. Oleh karena itu, penilaian kebijakan tidak hanya menjadi alat ukur terhadap hasil, tetapi juga sebagai panduan untuk merancang langkah-langkah strategis di masa depan dalam menghadapi kompleksitas kerja sama ekonomi multilateral seperti RCEP.
Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) merupakan perjanjian perdagangan bebas terbesar di dunia yang melibatkan 15 negara Asia-Pasifik, termasuk Indonesia. RCEP terdiri dari negara-negara anggota ASEAN serta mitra dagang utama seperti Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Perjanjian ini mencakup sekitar 30 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) global dan hampir sepertiga dari perdagangan dunia. Kehadiran RCEP menjadi babak baru bagi kerja sama ekonomi kawasan yang lebih inklusif dan terintegrasi.
Indonesia memiliki peran penting dalam RCEP, bukan hanya sebagai anggota tetapi juga sebagai salah satu penggagas awal inisiatif ini sejak tahun 2011. Pemerintah Indonesia melihat RCEP sebagai sarana untuk meningkatkan daya saing nasional, memperluas pasar ekspor, dan memperkuat integrasi ekonomi kawasan. Melalui keikutsertaan dalam RCEP, Indonesia berharap dapat mempercepat pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19, mendorong diversifikasi ekspor, serta memperkuat posisi dalam rantai nilai regional dan global.
Salah satu manfaat utama yang diharapkan dari keikutsertaan Indonesia dalam RCEP adalah peningkatan akses pasar ekspor. RCEP menyederhanakan berbagai aturan perdagangan, termasuk penggunaan satu jenis Surat Keterangan Asal (SKA) untuk seluruh negara anggota. Hal ini akan mengurangi biaya logistik dan birokrasi, sehingga mempercepat proses perdagangan barang lintas negara. Penyederhanaan ini dinilai dapat mendorong efisiensi dan kepastian hukum bagi pelaku usaha, khususnya eksportir.
Pemerintah Indonesia memproyeksikan bahwa RCEP dapat meningkatkan PDB Indonesia secara signifikan dalam jangka panjang. Selain itu, RCEP berpotensi menciptakan surplus neraca perdagangan dan meningkatkan volume ekspor barang dan jasa Indonesia, terutama ke negara-negara yang selama ini memiliki hambatan tarif dan non-tarif tinggi. Peningkatan ekspor ini akan berdampak langsung pada penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan industri nasional.
RCEP juga memberikan peluang untuk mendorong ekspor jasa Indonesia, terutama dalam sektor pariwisata, transportasi, dan jasa profesional. Indonesia memiliki potensi besar di sektor jasa, namun belum dimaksimalkan secara optimal di pasar internasional. Melalui penguatan kerangka kerja sama dalam RCEP, Indonesia memiliki kesempatan untuk memperluas ekspor jasanya dan menarik lebih banyak investasi asing di sektor ini.
Salah satu keunggulan strategis dari RCEP adalah peluang integrasi dalam rantai nilai regional. Dalam era globalisasi, industri tidak lagi bersifat lokal, melainkan tergabung dalam jaringan produksi global yang kompleks. RCEP memfasilitasi pengakuan bahan baku dan komponen dari sesama anggota perjanjian, yang memungkinkan negara-negara seperti Indonesia untuk menjadi bagian penting dalam proses produksi internasional.
Indonesia dapat memainkan peran sebagai pusat manufaktur di Asia Tenggara dengan mengembangkan industri pengolahan dan hilirisasi. Jika dimanfaatkan dengan baik, RCEP bisa menjadi katalis bagi transformasi industri nasional dari berbasis komoditas mentah ke produk bernilai tambah tinggi. Hal ini sejalan dengan visi pemerintah untuk meningkatkan kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB nasional dan mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah.
Namun demikian, tantangan besar masih menghadang. Hingga kini, partisipasi Indonesia dalam rantai nilai global masih rendah, dan sebagian besar industri nasional berada pada level teknologi rendah hingga menengah. Untuk meningkatkan daya saing, Indonesia perlu memperbaiki infrastruktur industri, meningkatkan kualitas tenaga kerja, dan mempercepat adopsi teknologi dalam sektor manufaktur.
Perjanjian RCEP memberikan peluang sekaligus tantangan bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM). Di satu sisi, RCEP membuka pasar yang luas bagi produk UMKM Indonesia, dan pelaku usaha lokal dapat mengakses bahan baku impor dengan harga lebih kompetitif. Di sisi lain, UMKM juga akan menghadapi persaingan yang semakin ketat dari produk luar negeri, terutama dari negara dengan efisiensi produksi tinggi seperti Tiongkok.
UMKM Indonesia berkontribusi besar terhadap penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, keberhasilan implementasi RCEP sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk mendampingi dan melindungi sektor ini. Strategi pendukung seperti pelatihan keterampilan, digitalisasi usaha, akses pembiayaan, dan sertifikasi mutu produk menjadi sangat penting untuk memastikan UMKM dapat beradaptasi dan bersaing di pasar yang lebih terbuka.
Selain tantangan domestik, keterlibatan Indonesia dalam RCEP juga memiliki dimensi geopolitik. Dengan dominasi ekonomi Tiongkok dalam kawasan, muncul kekhawatiran bahwa RCEP dapat memperkuat ketergantungan negara-negara ASEAN terhadap Tiongkok. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan dalam pengambilan keputusan regional dan dapat mengurangi posisi tawar ASEAN di tengah rivalitas kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok.
Untuk menghindari dominasi negara-negara ekonomi besar dalam RCEP, Indonesia perlu memperkuat kerja sama ekonomi yang seimbang dengan mitra seperti Jepang, Korea Selatan, dan Australia. Kolaborasi dengan negara-negara ini dapat mendorong investasi, transfer teknologi, dan peningkatan kapasitas industri nasional. Diversifikasi mitra juga penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap satu negara, sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam negosiasi ekonomi kawasan.
Indonesia juga harus memanfaatkan perannya sebagai pemimpin di ASEAN untuk memperkuat posisi tawar kolektif negara-negara berkembang. Dengan mengedepankan solidaritas dan kepentingan bersama, Indonesia dapat memastikan bahwa implementasi RCEP memperhatikan kebutuhan pembangunan yang inklusif, serta tidak merugikan negara-negara dengan struktur ekonomi yang masih berkembang.
Meskipun RCEP menawarkan peluang besar seperti perluasan pasar dan integrasi rantai pasok, manfaatnya tidak akan tercapai tanpa kesiapan sektor domestik. Pemerintah perlu memberdayakan industri nasional dan UMKM agar mampu bersaing secara global, melalui peningkatan akses pembiayaan, pelatihan, dan digitalisasi usaha. Tanpa strategi adaptif, sektor ini justru bisa terdampak negatif oleh kompetisi bebas.
Untuk itu, investasi di bidang infrastruktur, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan penguatan inovasi menjadi prioritas. Infrastruktur logistik dan digital yang kuat akan memperlancar perdagangan, sementara tenaga kerja terampil dan inovatif akan mendorong transformasi industri. Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat mengoptimalkan RCEP sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI