Mohon tunggu...
Arsenio Hansel Raharjo
Arsenio Hansel Raharjo Mohon Tunggu... Seminaris Medan Utama

Saat ini saya merupakan seminaris Medan Utama 111 Seminari Menengah Mertoyudan yang memiliki hobi dan ketertarikan pada dunia sastra.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Metamorfosa

26 Agustus 2025   08:03 Diperbarui: 26 Agustus 2025   08:03 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen pribadi penulis

Mengesankan, sebuah kata yang ingin ku ucapkan ketika mengingat kembali kenangan bagaimana Allah menangkap hidupku. Aku tidak mengetahui bagaimana Tuhan memilihku? Sehingga aku terdorong untuk menanggapi panggilan ini. Perjalanan ini bermula ketika aku tengah duduk dibangku kelas pertama sekolah menengah atas. Dengan beberbagai kesibukan yang ku alami, layaknya seorang siswa SMA pada umumnya. Saat itu, aku  tak pernah sempat memikkirkan bagaimana menjadi seorang pelayan Tuhan secara utuh dalam hidupku.

Masa SMA bagiku adalah masa penuh warna dan dinamika yang membawa pengalaman signifikan dalam hidupku, baik dalam emosi maupun cinta. Di luar, aku dikenal sebagai siswa aktif dan berprestasi, baik menjadi anggota pasukan pengibar bendera, terlibat dalam organisasi sekolah, dan aktif sebagai aktivis sosial. Namun di balik pencapaian itu, aku menyimpan pergulatan batin yang sulit kusembunyikan. Aku sering kali terbakar amarah ketika merasa tidak dihargai atau harapanku tak terpenuhi.  

Suatu ketika, saat memimpin sebuah organisasi di sekolah, tak jarang terjadi perbedaan pendapat tajam antara aku dengan teman-temanku. Saat itu aku merasa pendapatku paling benar dan dengan mudah membentak teman yang menentang setiap kehendakku. Kata-kataku yang kasar dan spontan itu membuat suasana terasa menjadi tegang. Setelahnya, aku menyadari telah menyakiti hati teman dekatku. Namun egoku menolak untuk minta maaf langsung, aku malah menjauh, merasa terluka dan bingung dalam kesendirian. Begitu pula dalam hubungan pribadiku, khususnya dalam soal cinta. Aku sering tidak mampu mengendalikan emosiku, dan karena itu aku memilih mencintai banyak orang tanpa benar-benar mampu menumbuhkan kedekatan yang tulus. Sikapku yang labil dan tidak konsisten membuat hubungan-hubungan itu berakhir dengan luka dan penyesalan mendalam.

Di tengah semua pergumulan itu, aku mulai mendengar suara lembut tapi tegas dalam hatiku, sebuah panggilan yang mengajakku untuk berubah dan menyerahkan segala pergumulanku kepada Tuhan. Suatu malam, sesudah mengalami pertengkaran hebat dengan orang-orang terdekat, aku duduk dalam kesepian dan menangis dalam doa, "Tuhan, aku susah mengendalikan amarah ini. Aku takut hubungan dengan teman dan orang yang kucintai rusak karena egoku. Aku ingin berubah, tapi aku merasa tak mampu." Saat itu aku merasakan sentuhan kasih Tuhan yang menenangkan. Sebuah suara masuk ke dalam jiwaku yang berkata, "Aku tahu perjuanganmu dan hatimu yang rapuh. Aku mengasihimu apa adanya, tapi Aku ingin membentukmu, menjadikanmu pribadi yang penuh kasih, sabar, dan rendah hati. Percayalah, Aku akan membimbingmu."

Sejak momen itu, aku memulai proses perubahan yang penuh perjuangan. Aku harus menghadapi amarah yang masih membara, berjuang melawan ego, dan belajar menerima kritik dengan hati terbuka. Aku belajar memaafkan diri sendiri dan orang lain dengan doa serta bimbingan romo paroki dan teman-teman terdekatku.

Di tengah proses itu, aku mulai menemukan inspirasi dari sosok Ignatius dari Loyola, pendiri Ordo Jesuit. Aku terpesona oleh kisah hidupnya yang dulu merupakan seorang prajurit keras dan egois, lalu berubah total setelah mengalami masa retret dan penyerahan diri kepada Tuhan. Kisah perjuangan Ignatius yang menciptakan "Latihan Rohani" memberikan motivasi nyata bagiku. Aku membaca bagaimana Ignatius berjuang mengubah dirinya melalui doa dan meditasi yang mendalam, belajar mengendalikan hawa nafsu, dan hidup sepenuhnya demi kemuliaan Tuhan.

Aku mulai menerapkan latihan rohani sederhana, seperti refleksi harian di mana aku mengamati sikap dan emosiku, terutama amarah dan ego. Aku belajar berdoa memohon kekuatan agar bisa sabar dan rendah hati, mengikuti jejak Ignatius. Salah satu kalimat dari Ignatius yang sangat melekat di hatiku adalah, "Lakukanlah segala sesuatu demi kemuliaan Allah." Kalimat ini mengubah cara pandangku. Segala aktivitas, bahkan pergumulan batinku, kupersembahkan sebagai bentuk pelayananku untuk Tuhan. Semangat yang kudapat dari Ignatius memperkuat langkahku menyambut panggilanku menjadi imam, meski aku masih banyak kekurangan, aku percaya Tuhan mampu menggunakan dan membentukku. Pelayanan sosial yang kulakukan sebelumnya hanya sebatas rutinitas, kini menjadi cara nyata untuk mengasah kerendahan hati dan memperluas kasih.

Suatu saat, saat membantu para korban kebakaran, terlebih anak-anak yang kehilangan tempat tinggalnya, aku duduk dengan seorang anak yang menangis karena lapar dan kedinginan. Aku tidak hanya memberinya makanan, tetapi juga mendengarkan kisahnya. Hatinya yang terluka membukakan hatiku. Aku merasakan kasih Tuhan yang mengalir melalui diriku, mengalahkan ego dan amarah yang dulu menguasai.

Setelah melewati proses panjang pergumulan batin dan perubahan yang Tuhan kerjakan dalam hidupku selama masa SMA, aku semakin jelas merasakan panggilan itu semakin kuat: panggilan menjadi imam, seorang pelayan Tuhan yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk melayani umat dengan kasih dan kerendahan hati.

Keputusan untuk masuk seminari bukanlah hal yang tiba-tiba, melainkan hasil dari doa yang sungguh-sungguh dan pencarian jati diri yang mendalam. Aku ingat betul malam-malam panjang di mana aku berdoa dengan rendah hati di depan Gua Maria Mojosongo, memohon agar Tuhan memberi petunjuk yang pasti mengenai arah hidupku. Di saat itu aku merasakan damai yang dalam, seperti sebuah jawaban akan panggilan yang selama ini kurasakan. Keputusanku untuk masuk seminari menunjukkan bahwa aku siap meninggalkan kenyamanan masa muda, baik meninggalkan kebebasan maupun menuju kehidupan yang disiplin dan penuh komitmen rohani. Aku tahu tantangan dan pengorbanan yang akan datang, tapi hatiku dipenuhi oleh keyakinan bahwa ini adalah jalan yang Tuhan pilih untukku. Saat pertama kali menginjakkan kaki di seminari, aku merasakan suasana yang berbeda. Hidup di lingkungan yang penuh doa, pembelajaran, dan kebersamaan dengan sesama calon imam membuatku semakin sadar akan pentingnya proses pembentukan diri. Aku belajar disiplin menjalani liturgi, mendalami ajaran Gereja, serta mengasah kemampuan batinku agar semakin matang dalam iman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun