Mohon tunggu...
Arry Azhar
Arry Azhar Mohon Tunggu... Pembelajar

Arry Azhar merupakan seorang yang hobi belajar. Baginya belajar adalah sesuatu yang mengasyikkan penuh dengan pengalaman serta nilai nilai kehidupan yang didapatkan. Melalui kompasiana, ia mencoba belajar menjadi penulis. Arry Azhar memiliki hoby membaca, mendengarkan musik, menulis, menonton film dan Traveling.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menulis itu Nasi Membaca itu Lauk

11 September 2025   11:16 Diperbarui: 11 September 2025   11:16 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
GAmbar Ilustrasi  (Sumber: Pribadi)

Sore itu, langit desa berwarna jingga, ayam-ayam berlarian ke kandang, sementara suara anak-anak masih ramai bermain layangan. Di beranda rumah kayu sederhana, Abah duduk dengan sarung kotak-kotak dan segelas kopi hitam panas, sambil melihat dua pemuda yang sejak tadi berada di depannya, entah mereka berdiskusi tentang apa. Sampai pada akhirnya,  dua pemuda di hadapannya, Ujang dan Asep menjadi  ribut hebat.

"Bah," kata Ujang dengan wajah serius, "mana mungkin orang bisa menulis kalau membaca saja tidak pernah? Kepala kosong, ya apa yang mau ditulis? Masa cuma daftar hutang di warung?"

Asep langsung menepuk pahanya sambil menyeringai. "Eh, jangan salah, Jang! Menulis bisa dari mana saja, termasuk lamunan. Kau tahu lamunan siang bolong? Itu inspirasi! Misalnya, kemarin aku melamun jadi menantu artis Korea. Nah, bisa kutulis jadi cerita!"

Ujang hampir melempar sandal. "Astaghfirullah, Sep. Itu bukan tulisan, itu ngaco!" Abah hanya menghela napas panjang, menatap dua pemuda ini yang lebih sering berdebat daripada bekerja bakti.

Tiba-tiba datang Een, gadis berwajah teduh, membawa sebakul pisang goreng hangat. Senyumnya membuat sore itu makin cerah. "Bah, ada apa ribut-ribut?" tanyanya. Abah menjelaskan perdebatan Ujang dan Asep. Een terkekeh. "Heh, kalau begini terus, nanti yang keluar bukan tulisan, tapi urat leher!"

Ia lalu menjelaskan dengan sederhana, "Membaca dan menulis itu seperti nasi dan lauk. Kalau kalian cuma menulis tanpa membaca, tulisan akan hambar, kosong. Bagaimana mau mengeluarkan kata indah kalau otak tak pernah diberi makanan? Membaca adalah bahan bakarnya."

Ujang langsung manggut-manggut seperti ayam mematuk beras. Asep masih ngotot. "Tapi Een, lamunan saya kadang berkualitas. Contoh, saya melamun jadi presiden, lalu tulis visi-misi saya!"

Een tersenyum sabar. "Boleh saja, Sep. Tapi kalau tidak pernah baca tentang negeri ini, apa yang harus diperbaiki, bagaimana bisa menulis visi-misi yang berguna? Lamunan tetap butuh bahan bakar. Dan bahan bakarnya adalah bacaan."

Abah menimpali sambil tertawa, "Kalau kau jadi presiden tapi nggak ngerti pajak, rakyatmu bisa bingung: dipimpin orang yang pikirannya masih di warung kopi!" Semua tertawa, bahkan Asep ikut garuk kepala malu.

Tak lama, Mak Iti lewat sambil bawa ember, ikut nimbrung. "Ah, menulis itu gampang! Saya juga sering nulis daftar orang ngutang di warung. Penuh dua buku tulis. Itu karya juga, kan?" Mereka semua terbahak, bahkan Abah hampir tersedak kopi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun