Di bawah rindangnya pohon randu, empat tokoh punakawan duduk santai sambil menyeruput kopi tubruk yang baru saja diseduh Bagong. Udara malam terasa sejuk sehabis berbuka puasa, tapi pembicaraan mereka justru makin panas.
"anak-anak, aku iki curiga," ujar Ki Semar sambil mengelus perutnya yang tambun.
"Curiga opo, Rama?" tanya Gareng, yang sejak tadi asyik menggulung tembakau.
"Iki lho, aku semalam ketemu sopir truk di warung pecel lele. Katanya, Pertamax sekarang kok rasane mirip Pertalite! Padahal hargane adoh," jelas Semar, matanya menyipit penuh kecurigaan.
Petruk yang dari tadi selonjoran langsung duduk tegak. "Lho, lho, lho! Iki opo ora konyol? Wong Pertamax iku ora disubsidi, kok malah mutune podo karo bahan bakar bersubsidi?!"
Bagong mengangguk serius, menirukan gaya pejabat yang sedang diwawancarai. "Ini bukan hanya masalah bahan bakar, Truk. Ini masalah harga diri konsumen. Kita beli yang mahal biar dapat kualitas lebih baik, ealah malah kayak beli gorengan tapi isinya angin!"
Gareng mendecak. "Nah, itu lho, Gong. Jangan-jangan dioplos!"
Semar menghela napas panjang. "Yo jelas ini ada yang main-main. Masa iya, bahan bakar yang seharusnya lebih bagus malah rasanya kayak ecek-ecek? Negaramu kok bercanda, le?!"
Petruk mendekatkan wajahnya ke Semar, matanya berbinar penuh ide. "Rama, aku punya solusi! Gampang wae. Kita tes aja sendiri. Beli Pertamax, beli Pertalite, terus tak minum. Rasane podo apa ora?"
Gareng dan Bagong langsung menjauh, takut Petruk benar-benar nekat. "Wong edan! Bahan bakar kok diminum?! Mau mesinnya jebol?!" seru Gareng.