Di sudut kecil Losari, Cirebon, hiduplah seorang bocah SMP bernama Awaynara. Sehari-harinya, ia tinggal bersama neneknya di rumah sederhana yang penuh kehangatan meski dalam keterbatasan. Setiap pagi, neneknya memberikan uang seadanya untuk keperluan sekolah, tetapi jumlahnya tak cukup untuk ongkos naik angkot atau bus menuju Babakan.
Rute perjalanan menuju sekolah begitu panjang: dari Losari ke Gebang, sebelum akhirnya tiba di Babakan. Jarak tempuhnya kurang lebih 20 km sekali jalan, sehingga jika pulang pergi, Awaynara harus menempuh sekitar 40 km setiap hari. Jarak sejauh itu tentu menjadi tantangan berat baginya, terlebih dengan kondisi keuangan yang pas-pasan.
Suatu pagi, ketika uang di tangan hanya cukup untuk jajan sepotong gorengan, ia termenung di pinggir jalan raya. Deru kendaraan besar melintas, membawa penumpang dan muatan entah ke mana. Matanya tertuju pada sebuah truk yang berhenti sejenak di dekatnya. Perasan takut untuk meminta bantuan secara langsung menghantuinya, ia mencoba mencari ide yang tepat untuk menyampaikan permohonannya itu. Â Ia menghela napas, lalu merogoh tasnya, mengeluarkan secarik kertas.
Dengan pena lusuh, ia mulai menulis:
"Kepada Bapak Supir yang baik hati, semoga harimu penuh kebahagiaan. Aku adalah seorang anak sekolah yang ingin belajar dengan tekun, tapi aku tak punya cukup ongkos. Jika Bapak berkenan, bolehkah aku menumpang sampai Gebang? Terima kasih banyak. Semoga perjalanan Bapak selalu selamat."
Ia melipat surat kecil itu dan mendekati supir truk. Dengan senyum ragu, ia menyerahkan kertas itu. Sang supir membaca, tertawa kecil, lalu mengangguk. "Naiklah, Nak. Nggak usah malu," katanya.
Sejak hari itu, menulis surat menjadi kebiasaan Awaynara. Setiap pagi dan sore, ia menuliskan surat-surat penuh harapan, memuji kebaikan hati para supir, mendoakan keselamatan mereka, dan tak jarang menyelipkan puisi sederhana. Para supir yang menerima surat darinya sering kali tersenyum geli, beberapa bahkan menyimpannya di dashboard truk mereka.
"Aku merasa seperti punya banyak teman di jalan," gumamnya suatu hari.
Namun, perjuangan Awaynara tidak hanya soal menumpang. Di sekolah, ia sering diejek oleh teman-temannya karena selalu datang dengan pakaian lusuh dan membawa bekal sederhana. "Masa sih anak SMP masih numpang truk?" ejek seorang teman.
Awaynara hanya tersenyum. Baginya, setiap perjalanan adalah pelajaran. Setiap surat yang ia tulis adalah bentuk perjuangannya untuk meraih ilmu.