Mohon tunggu...
Arrum
Arrum Mohon Tunggu... -

berkarya itu sebagian dari kemerdekaan...(seharusnya)...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Storiterapi

30 Oktober 2015   11:05 Diperbarui: 30 Oktober 2015   11:18 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

 

 

SAYUP-sayup terdengar suara para dokter bergunjing. Aku tak sengaja mendengar, bukan karena ingin tahu apa yang bukan urusanku. Akan diberlakukan sistem terapi baru yang mengharuskan seseorang dibuat lupa atas serangkaian proses penyembuhan medis. Kupikir itu tak mungkin. Tapi salah satu dokter sangat yakin akan sistem baru ini, yang menurutku sistem ini kurang manusiawi.

Perlahan suara-suara itu mulai pudar. Aku menunggu instruksi dokter Saras kapan aku bisa keluar dari ruang periksa. Dokter Saras masih berada di tempat pergunjingan berlangsung. Sementara itu, aku mengamati kalender yang terkulai di salah satu dinding ruang periksa. Kuhitung mundur angka yang tertera hari ini sampai pada tanggal aku masuk ke rumah sakit. Kudapati kesimpulan bahwa aku sudah berada di sini sekitar 1 bulan kurang 3 hari. Waktu yang tak sebentar untuk ukuran rawat inap. Aku menjalani serangkaian pengobatan dan terapi pernafasan.

Aku keluar dari ruang periksa setelah dokter Saras mempersilakanku. Tak kusengaja, tapi aku memang melangkah malas menuju ruang terapi. Di ruang itu, biasanya seorang dokter terapi yang sangat cantik sudah menungguku. Dan benar, dia sudah menyambutku di samping kursi roda yang disiapkan untukku. “Selamat pagi,” katanya sambil menyungging senyum.

Kursi roda mulai bergerak membawaku ke arah taman di belakang rumah sakit. Ada sederetan pohon pinus di salah satu sisi taman. Pepohonan itu membatasi rumah sakit dengan jalan umum. Dan yang lebih mengesankan adalah ketika kita berada di sana kita seperti berada di hutan pinus yang asri.

Kriririiing…, kriririiing…, nada ponsel berbunyi. Aku melirik ke arah dokter disampingku. Dia mengangkat ponselnya dan berbicara dengan seseorang. Tak lama kemudian berpamit menuju ruang pemeriksaan. “Saya ke ruang periksa sebentar, dokter Saras panggil saya.” Aku mengangguk dan mengantarkannya melalui pandangan mata hingga tubuhnya tenggelam diantara gedung-gedung rumah sakit.

Sungguh, dunia ini seakan tak lagi nyata. Kehadiran telepon genggam menyebabkan sesuatu yang seharusnya nyata menjadi maya. Bagaimana tidak, percakapan yang seharusnya terjadi dalam tatap muka, kini bisa terjadi melalui mesin bernama ponsel. Mudahnya! Maka percakapan kerap terjalin tanpa harus tau siapa yang diajak bercakap. Ah tapi sudahlah. Aku sedang ingin menikmati tempat ini, tempat yang sejuk dan sangat pas untuk berlatih pernafasan.

Pada suatu waktu tempat ini juga menjadi tempat bersejarah bagi secuial perjalanan seorang Raka. Kau tahu siapa Raka?

-**-

… Raka adalah seorang pria berwajah tampan. Dia bisu sejak lahir. Tapi Raka amat terkenal di kalangan netizen waktu itu. Namanya sering dibicarakan dan kisah hidupnya sering menjadi “trending topic” di media sosial. Tiap ada status baru di akun media sosialnya selalu diacungi jempol banyak orang. Tapi bukan karena wajah tampannya, melainkan karena kisah hidupnya yang dramatis dan menarik untuk dibaca, didengar, atau diceritakan. Jelas, dia pandai bercerita lewat tulisannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun