Part I
Diskursus antara Hukum Islam dan Ham masih tetap menjadi perbincangan dikalangan masyarakat Indonesia, pasalnya sebagian menolak akan adanya Ham ini dikarenakan merupakan produk orang-orang barat serta tidak sejalan dengan hukum islam. Disisi lain para fuqaha yang masih berpegang teguh dengan metode klasiknya sehingga anatra Hukum Islam dan Ham dianggap tidak relevan untuk diterapkan hal ini berdampak pada penolakan terhadap ham.
Dalam dunia Muslim ada dua bentuk penafsiran syariat yaitu; 'tradisional' dan 'evolusionis'. Golongan tradisional masih teguh dan menjunjung tinggi penuh dengan penafsiran-penafsiran klasik syariat yang telah ada sejak abad kesepuluh didalam berbagai risalah madzhab-madzhab utama fiqih islam. Konservatif atau garis keras merupakan sebutan lain dari kalangan ini, karena mereka masih berpegang teguh pada pendapat-pendapat terdahulu dan tidak meninjau kembali pendapat-pendapat klasik tersebut dalam konteks yang sekarang atau kedepannya.[1] Sedangkan kalangan evolusionis (liberalisme atau modernisme) tetap berpegang teguh pada fikih dan metode terdahulu namun mereka tetap melihat kedepannya dalam artian mereka melakukan tinjauan kembali dan membuatnya relevan pada zaman sekarang. Kalangan evolusionis ini berkeyakinan bahwa adanya perubahan terhadap hukum islam yang terus terjadi, mereka memiliki pandangan bahwasannya apabila hukum islam bisa ingin bisa mengakomodir perkembangan-perkembangan yang terjadi (modern) dan relevan dengan zaman maka mereka harus mempertimbangkan perkembangan yang terjadi didalam menafsirkan syariat.[2]
Jika dipahami hak asasi manusia internasional dimaknai sebagai tujuan mengenai kemanusiaan universal didalam melindungi setiap masing-masing dari manusia dan kesewenangan pemerintah dalam menjalankan tugasnya atau penyalahgunaan otoritas negara serta berutujuan untuk meningkatkan martabat manusia, maka hal ini dapat menghapus terkait dengan pandangan islam yang tidak sejalannya, karena tujuan tersebut sebagai pondasi atau dasar politik dan hukum islam. Tidak tutup kemungkinan adanya perbedaan konseptual dibeberapa erea hal ini tidak menjadikan antara hukum islam dan hak asasi manusia internasional bertentangan.[3] Oleh sebab itu, pada tulisan kali ini penulis tidak akan berkutik pada pertentangan-pertentangan yang terjadi, namun lebih fokus kepada adanya persamaan antara hukum islam dan ham. Adapun yang disebut dibawah ini merupakan bagian dari dua puluh empat kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik yang dijamin. Berikut beberapa persamaan antara hukum islam dan ham:
1. Hak untuk hidupÂ
Hak untuk hidup hal ini dijelaskan dalam pasal 6 (1), menetapkan tentang kesucian kehidupan manusia dan negara memiliki kewajiban untuk melindungi kehidpuan manusia serta tidak sewenang-wenang dalam merampas hak untuk hidup dari seseorang, selain itu tugas dari pada negara yaitu mencegah terjadinya peperangan, genosida, dan tindakan kekerasan dari masa yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.[4] Hal senada juga terdengar dari hukum islam bahwa melindungi kehidupan seseorang merupakan sesuatu yang sudah tertulis dalam salah satu sumber hukum islam sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Maidah ayat 32 yang berbunyi;
Artinya: Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh), orang lain atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-Rasul kami (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. (QS. al-Maidah ayat 32).[5]
Hal ini memiliki konsekuensi yang begitu berat berdampak pada dua kehidupan (dunia dan akhirat) sampai Allah memberikan perumpamaan bagi orang-orang yang merampas (membunuh) kehidupan satu orang sama halnya dengan membunuh semua orang. Perumpamaan tersebut sebagai menyentak (rad) dan memberikan rasa takut (tarhib) kepada orang yang membunuh.[6] Hak untuk hidup merupakan posisi luar biasa yang diberikan dalam islam, merampas kehidupan sesorang dianggap jarimah (pidana) dan mendapatkan hukum qishas sebagai bentuk balasan terhadap pelanggaran HAM yang begitu berat.[7]
[1]Mashood A. Baderin, Hukum Internasional, Hak Asasi Manusia Dan Hukum Islam, (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2013), hal. 43.
[2] Ibid.,
[3]Mashood A. Baderin, Hukum..., 13