Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Soal "Diskualifikasi Jokowi-Ma'ruf", Bangunan Opini yang Sangat Lemah

4 Mei 2019   06:47 Diperbarui: 4 Mei 2019   07:12 1026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasangan 01 dan 02 I Gambar : Tribun

Diskusi tentang rekomendasi "Diskualifikasi Jokowi-Maruf" dari hasil Ijtima Ulama III terus bergilir, saya sempat menyaksikan beberapa diskusi yang disiarkan di beberapa stasiun televisi.

Menurut saya, konten diskusi itu dapat dibelah dua. Pertama, apakah hasil Itjima Ulama itu dapat dijadikan panduan. Jika diperhatikan, pertanyaan ini mengerucut kepada pertanyaan apakah pertemuan Itjima Ulama itu mewakili suara umat atau kepentingan politik.

Untuk beberapa pertanyaan ini, tentu saya mendapati ada pro kontra disini dan tentu tidak mau terlalu jauh membahasnya, meskipun di sisi lain, saya harus jujur mengakui  bahwa pertemuan itu adalah bagian dari hak konstitusi dan bentuk partisipasi politik masyarakat, sah-sah saja.

Kedua, soal rekomendasi diskualifikasi Jokowi-Maruf. Ini yang saya ingin lebih jauh membahasnya. 

Dari beberapa diskusi yang saya amati, memperlihatkan dengan jelas bahwa jikalau rekomendasi ini adalah sebuah bentuk konstruksi opini, maka bangunan opini ini terlihat sangat lemah.

Mengapa demikian? Rekomendasi diskualifikasi ini selain dapat dikatakan misunderstanding juga dapat dikatakan sudah mendahului proses demokrasi atau konstitusi seharusnya.  

Belum ada pembuktian melalui pengumpulan alat bukti dan investigasi masak sudah didiskualifikasi.

Lebih jauh, rekomendasi itu jika berdasarkan tuduhan kecurangan yang dikatakan terstruktur, sistematif dan masif (TSM), maka harus disertai bukti forensik yang cukup.

Bukti-bukti ini pun harus dibawa dan dipertanggungjawabkan kepada lembaga-lembaga yang ditunjuk secara resmi oleh konstitusi untuk memutuskan. Seperti Bawaslu hingga kepada Sidang MK apabila hasil sidang Pleno KPU nantinya ditolak oleh salah satu kontestan.

Mengapa ini penting? Karena nampaknya dari diskusi-diskusi yang ada, jika dicermati dengan kritis membuat kita perlu bertanya-tanya atas dua hal.

Pertama, apakah masyarakat tahu cara melapor, kemana melapor dan tahu waktu yang tepat untuk  melaporkan kecurangan tersebut?

Maksud pertanyaan ini adalah mengharapkan agar masyarakat dapat terus diedukasi untuk tidak memiliki cara berpikir yang salah. 

Rakyat harus diedukasi bahwa jika menerima dan melihat kecurangan jangan sampai melapor ke individu, lembaga atau ormas yang tidak kredibel tetapi harus sampai ke lembaga-lembaga kredibel seperti Bawaslu dan MK.

Menjadikan kecurangan sebagai sesuatu yang viral tidak akan ada gunanya, jika itu tidak dilaporkan secara resmi.  

Lalu mesti dipastikan pelaporan itu disampaikan pada waktu yang ditetapkan, karena lembaga seperti Bawaslu ini punya periode bekerja.

Kedua, apakah masyarakat sudah paham kekuatan bukti yang dapat membuktikan bahwa kecurangan itu bersifat TSM.?

Apakah masyarakat ketika mengatakan ada kecurangan, sudab menyertakan bukti forensik yang cukup menguatkan laporannya?

Banwaslu tentu mempunyai barometer untuk memeriksa bukti sehingga menyimpulkan TSM itu terjadi. 

Misalnya,  dari bukti terkumpul secara substansi dan sifatnya teknis, dari 800 ribu TPS berapa prosentase terjadinya kecurangan? jika 20 atau 30 persen saja maka tidak bisa dikatakan masif. Karena bisa dikatakan masif apabila mencapai 50 persen atau lebih dari itu.

Lalu jika ada salah  input data oleh KPU , kira -kira hanya menguntungkan salah satu kubu atau dua-duanya?

Terstruktur? Apakah semua lembaga terlibat secara berjenjang melakukan kecurangan tersebut. Ini harus dapat dibuktikan.

Artinya, tidak bisa ada klaim kecurangan sepihak tanpa pembuktian. Ini yang harus ditegaskan sebagai bentuk edukasi kepada publik.

Sebenarnya kalau kita harus jujur, masyarakat kita sudah cerdas, karena sudah berulang kali melewati proses demokrasi. Hal itu terbukti dengan partisipasi politik yang cukup tinggi.

Akan tetapi, dalam sebuah konstestasi, wajar jika ada sebuah pertentangan sebagai bagian dari berdemokrasi.

Saya setuju dengan seorang pengamat yang mengatakan seperti ini ;  persoalan dalam proses ini muncul ketika konstruksi berdemokrasi yang sudah diatur undang-undang tidak ditaati, akibatnya akan terjadi kegaduhan dalam bentuk perang opini yang sebenarnya lemah.

Padahal, prinsip berpartisipasi itu sebuah hal yang positif, tetapi jika sudah berlebihan maka sebaliknya menjadi kontraproduktif dan berdampak negatif untuk pembelajaran demokrasi kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun