Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Anomali atau "Norma Baru" tetapi Faktanya Fenomenal

6 Juni 2016   06:09 Diperbarui: 6 Juni 2016   12:30 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source : http://www.dbta.com/Editorial/Think-About-It/Anomaly-Detection-Discovering-Business-Insights-Within-the-New-Big-Data-97093.aspx - modified by Arnold

Dampak dari kepanikan global yang dipicu dari pasar US dapat dilihat pada Peraga-2 dengan pembanding dampak krisis keuangan pada abad XX dan juga anjloknya Pasar Saham Shanghai pada Juni 2015.

Sumber Informasi : World Economic Forum
Sumber Informasi : World Economic Forum
Peraga-2 menunjukkan bahwa dampak krisis keuangan 2008 hanya lebih kecil dari krisis pra "The Great Depression 1929-1933" dan krisis akibat embargo minyak pada 1973-1974; tetapi lebih besar dari dampak jatuhnya harga saham di bursa China (Shanghai) 2015, Dotcom Bubble 2001 dan Asian Crisis 1997-1998 (yang menyebabkan Krismon 1998 di Indonesia).

Pasca Krisis Finansial 2008, The Fed US menerbitkan kebijakan Quantitative Easing untuk menstimulasi perekonomian US dan menetapkan suku bunga acuan (Fed Fund Rate) sangat rendah sebesar 0,25%. Kebijakan The Fed ini pada satu sisi sebagai resep mujarab; tetapi pada sisi lain menjadi virus pada "Emerging Markets" (seperti Indonesia dan negara ASEAN). Sejak 2010 banjir tawaran pinjaman dengan syarat mudah dan suku bunga rendah kepada korporasi di Indonesia walaupun dengan masa pinjaman pendek (short term loan). Saat kemudian The Fed mengumumkan untuk menormalkan suku bunga acuan, timbul tekanan pada korporasi akibat harus mengembalikan pinjaman yang berdampak pada depresiasi (penurunan) nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika (USD).

Pascakrisis finansial 2008, China mendorong pertumbuhan ekonominya dengan kebijakan fiskal ekspansif (expantionary fiscal) untuk menstimulasi perekonomiannya. Dana sejumlah RMB 4 Triliun (hampir USD 600 Miliar) disuntikkan melalui BUMN (SOE: State Owned Company) China dan pemerintah provinsi atau daerah, yang ditujukan untuk pembangunan infrastruktur di China.

Pra dan Pasca Krisis 2008 dan Fakta Fenomenal

Menarik untuk membandingkan pertumbuhan perekonomian pra dan pascakrisis global 2008. Negara maju atau kawasan regional seperti US, European Union, Jepang yang terdampak krisis global 2008 melakukan kebijakan "New Normal" (seperti yang disebutkan pada bagian atas) demi mendorong pertumbuhan. Sementara penurunan pertumbuhan negara maju tersebut menekan permintaan komoditas dan energi yang menimbulkan tekanan deflasi; dan selanjutnya menekan penerimaan negara yang mengandalkan ekspor komoditas dan energi. Lanjutan dari kondisi deflasi ini adalah persaingan perdagangan global dengan cara memanipulasi (baca: menurunkan dengan sengaja) nilai tukar yang kemudian dikenal sebagai "Currency Wars". Keadaan ini malah menimbulkan dampak lain, yaitu tekanan utang yang berisiko kegagalan bayar (Debt Default) utang korporasi (private) dan utang publik (public debt).

Apakah hasil yang dicapai dengan strategi kebijakan New Normal terhadap pertumbuhan ekonomi? 

Peraga-3 berikut ini memberikan gambaran pertumbuhan GDP (Gross Domestic Product atau PDB: Produk Domestik Bruto).

Sumber Informasi : IMF Data Mapper (dengan pengolahan)
Sumber Informasi : IMF Data Mapper (dengan pengolahan)
Peraga-3 memberikan gambaran rerata pertumbuhan pra krisis (2000-2007- bar warna biru) dan pasca krisis (2008-2015 - bar warna merah), serta perubahan (atau selisih) rerata pasca-pra (garis putus hijau), untuk 5 negara dengan populasi terbesar (China, India, USA, Indonesia, Brazil), Jepang, European Union, ASEAN, North Africa (Afrika Utara), Australia dan New Zealand (ANZ), dan Global (World). 

Dengan mencermati Peraga-3, dapat disimpulkan:

1. Pertumbuhan GDP Global belum sepenuhnya pulih ke keadaan prakrisis (rerata pra > rerata pasca krisis dengan selisih perubahan 1,26%); kondisi European Union, China, dan US, Brazil dan Jepang bahkan lebih rendah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun