Normalisasi China
Setelah melewati masa "Miracle Era" dengan pertumbuhan ekonomi double digit (di atas 10%), perekonomian China harus menjalani masa normalisasi dengan tingkat pertumbuhan GDP (Gross Domestic Product) turun; masa 2015 diprakirakan berada pada kisaran 7% (triwulan-3 2015 : 6,9%). Investasi yang sebelumnya menjadi andalan pertumbuhan perlu bergeser ke konsumsi; sementara masyarakat didorong untuk tidak mengutamakan menabung tetapi berinvestasi di pasar modal.
Dengan kejenuhan pasar domestik, investasi China didorong ke luar negeri (ODI : Overseas Direct Investment) melalui tangan SOE (State Owned Enteprise) dan di tempat tujuan membentuk kerjasama atau joint venture. China juga berusaha untuk mengekspor kemampuannya dalam pembangunan infrastruktur dengan membentuk Asia Infratructure Investment Bank (AIIB) dengan tujuan negara Asia dan Afrika serta Amerika Latin.
Dalam bidang moneter, China berusaha agar mata uang Yuan (Renminbi - CNY) masuk dalam Special Drawing Right (SDR) IMF. Dengan kondisi ini, kebijakan moneter "quasi pegged" (depresiasi atau apresiasi terbatas) CNY tidak diperkenankan tetapi harus "free floating". Sementara CNY akan menjadi pilihan mata uang dalam transaksi perdagangan, tersedia dan digunakan secara luas tanpa batasan sehingga akan menambah likuiditas finansial global yang selama ini mayoritas menggunakan Dolar Amerika (USD).
Penurunan Pertumbuhan China
Sebagai dampak dari penurunan pertumbuhan ekonomi China akan dirasakan pada nilai impor khususnya pada barang komoditas dan juga energi. Besarnya dampak penurunan nilai tersebut dapat dihitung dengan menggunakan Indeks Sensitivitas Pendapatan terhadap Kebutuhan Barang dan Jasa. Untuk Indonesia, secara rerata 2015 besaran ekspor ke China per bulan USD 1,2 miliar, sekitar 10% dari rerata total ekspor. Andaikan China mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 1%; Long Term Sensitity Index China = 1,7 (Lihat : World Bank Report - Global Economic Prospect 2015, halaman 175). Maka besarnya penurunan impor China adalah 1 * 1,7 = 1,7%. Dengan besaran ekspor Indonesia ke China (yang adalah impor China) 10% dari total ekspor, dampaknya tidak besar (10% *1,7). Namun perlu dicermati ekspor China yang akan berusaha ditingkatkan salah satunya dengan penurunan harga sebagai akibat "oversupply" produksi.
Investasi China di Indonesia, sampai Triwulan-3 2015 tidak menunjukkan peningkatan yang berarti; jumlahnya USD 245 Juta dan di bawah Singapore (USD 1.248 juta); Jepang (USD 917 Juta); Belanda (USD 495 Juta) (Sumber Informasi : BKPM - Statistik). Dengan kondisi penurunan pertumbuhan, tidak dapat diharapkan kegiatan ekspansi investasi China. Kemungkinannya pada sektor infrastruktur melalui AIIB. Untuk sektor produksi, jika ada investasi dari China bersifat "relokasi" dengan tujuan pasar domestik.
Dampak Pertumbuhan Ekonomi
Bank Indonesia waspadai masuknya yuan ke mata uang IMF, khususnya pada devaluasi CNY. Pada sisi lain, Bank Indonesia memberikan "warning" akan dampak penurunan pertumbuhan China : "Setiap risiko penurunan pertumbuhan ekonomi China sebesar 1%, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia terkoreksi sebesar 0,4%-0,6%".
Komposisi GDP (Gross Domestic Product atau PDB : Produk Doestik Bruto) Indonesia sekitar 60%-62% merupakan Konsumsi dan Investasi sebesar 35%. Nilai ekspor berada pada kisaran 15-16% dengan neraca perdagangan surplus pada 2015. Dampak penurunan impor China tidak berarti; investasi China masih rendah. Pada Triwulan-1 hingga Triwulan-3, pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah memberikan indikasi "rebound" (dari penurunan atau resesi menjadi peningkatan atau pemulihan). Dari Triwulan-2 sebesar 4,67 menjadi 4,73% pada Triwulan-3, dengan penurunan cadangan devisa sekitar USD 10 miliar (posisi akhir 2014 dan posisi akhir Triwulan-3 2015). Trend pertumbuhan China turun dari 7,1% menjadi 6,9% selama 2015 dengan cadangan devisa berkurang USD 330 miliar (Lihat : China -State Administration of Foreign Exchange) posisi akhir 2014 hingga Triwulan-3 2015.
Penurunan pertumbuhan perekonomian merupakan "natural phase of economic cycle" yang harus dihadapi China. Tetapi konklusi Bank Indonesia bahwa penurunan tersebut berdampak koreksi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah NONSENSE !