Dulu, aku tidak percaya pada yang namanya hantu.
Bagiku, sesuatu yang tak bisa kusentuh, kulihat, atau kurasakan sendiri adalah sesuatu yang patut diragukan. Aku sering mencibir cerita-cerita mistis yang menurutku hanya bumbu drama pengantar tidur. Aku bahkan sempat bilang ke teman-teman, "Kalau belum ngalamin sendiri, mana bisa percaya?"
Tapi keyakinan itu hancur perlahan... sejak aku benar-benar mengalami sendiri kejadian-kejadian yang membuat darahku membeku. Bukan sekali. Tapi empat kali. Semuanya terjadi... di rumahku sendiri. Tempat yang seharusnya jadi ruang paling aman, berubah menjadi panggung bisu yang dihuni sesuatu yang tak terlihat... tapi terasa.
Kejadian pertama.
 Waktu itu aku sedang mandi. Aku bernyanyi seperti biasa. Kebiasaan kecil yang kulakukan setiap mandi agar tidak bosan. Suara nyanyianku menggema di kamar mandi. Tapi tiba-tiba... sesuatu berbisik tepat di telinga kiriku.
 Suaranya pelan, seperti napas yang lewat di antara bibir yang terbuka: "Haa..."
 Hanya satu kata. Tapi rasanya seperti ada seseorang berdiri tepat di sampingku. Aku sontak berhenti bernyanyi. Lalu, dengan maksud menenangkan diri, aku mulai bernyanyi lagi. Tapi semakin keras aku bernyanyi, suara itu datang lagi... lebih dekat... lebih nyata...
 Bisikan itu kembali berulang di telingaku, seolah ingin menunjukkan bahwa aku tidak sendirian di kamar mandi itu. Aku mencoba menyelesaikan mandiku secepat mungkin, pura-pura tenang, padahal tubuhku menggigil tak hanya karena air, tapi karena takut yang menyusup pelan-pelan.
Kejadian kedua.
Hampir tengah malam. Semua orang rumah sudah tidur. Aku masih terjaga, menonton film sambil ngemil di ruang tengah. Saat rasa lapar mulai menyapa, aku beranjak ke dapur.
Tapi sebelum membuka pintu dapur, aku melihat sesuatu dari celah pintunya.
Sebuah kain putih... bersih... seolah melayang melewati balik pintu dari arah dalam. Aku terdiam. Nafasku tercekat. Dapur itu gelap, dan seharusnya kosong. Tidak ada orang yang mengenakan kain putih malam itu.
Berusaha berani, aku membuka pintu dapur perlahan... dan seperti yang sudah kuduga, tidak ada siapapun di dalamnya. Sunyi. Beku. Tapi kain itu... seolah benar-benar tadi lewat di sana.
Jika itu hewan, mereka tak mungkin memakai kain. Jika itu angin... angin tak pernah memiliki bentuk sejelas itu.
Kejadian ketiga.
Sore hari, sepulang sekolah. Rumah kosong. Sejak pagi aku memang sudah diberi kunci oleh ibuku karena semua orang ada urusan. Rumah itu sunyi dan gelap. Biasanya aku menyukai kesendirian, tapi sore itu terasa berbeda.
Aku masuk, makan sebentar, ganti baju. Lalu memutuskan untuk keluar dan bermain di rumah nenekku saja yang rumahnya hanya bersisian. Tapi saat aku hendak menutup pintu, mataku tertuju pada kaca etalase di ruang tamu.
Di sana... pantulan diriku berdiri. Aku memiringkan kepala ke kiri. Tapi... pantulan itu tak ikut bergerak. Ia tetap tegak, lurus. Aku menelan ludah. Jantungku berdegup cepat.
Saat aku mulai meluruskan kepala lagi, pantulan itu justru memiringkan kepalanya... perlahan... seolah menyapaku dengan ejekan diam.
Aku langsung membanting pintu, menguncinya, dan lari ke rumah nenekku tanpa menoleh lagi ke belakang. Nafasku seperti tertinggal di sana.