Dalam hal ini, peran logika sangat penting. Logika adalah ilmu yang mengajarkan cara berpikir yang benar dan lurus. Menurut para ahli seperti Lanur (1983), Poespoprodjo (1999), dan Rapar (1995), logika bukan hanya soal pintar, tetapi juga tentang kejujuran dalam berpikir dan kesadaran akan keterbatasan pengetahuan. Logika membantu mengenali kesalahan berpikir dan menghindari argumen palsu. Copi dan Cohen (1990) berpendapat bahwa logika adalah cara dan aturan yang digunakan untuk membedakan argumen yang benar dan salah. Ini berarti, hanya orang yang berpikir logis yang bisa membuat argumen yang masuk akal. Tujuan utama logika adalah mengecek apakah sebuah alasan atau argumen itu benar atau keliru.
Dalam hal keagamaan pun, banyak penyimpangan muncul karena kesalahan dalam memahami atau menafsirkan ajaran. Untuk menghindari hal ini, seseorang harus mematuhi hukum-hukum logika dalam proses penafsiran. Hal serupa berlaku dalam kehidupan sehari-hari: berpikir sembarangan dapat menimbulkan kekeliruan, sementara berpikir secara logis akan menghasilkan keputusan yang lebih baik.
Sejumlah orang tua juga percaya bahwa "Tidur siang akan menyebabkan anak menjadi malas, tidak berprestasi, dan akhirnya menjadi pengangguran". Ini adalah bentuk penyimpulan  berlebihan yang mengabaikan banyak faktor lain yang memengaruhi keberhasilan. Tidur siang justru bisa menjadi aktivitas yang bermanfaat jika dilakukan secara wajar. Dalam rumah tangga, sering kali pendapat anak tidak dihargai. Ketika seseorang menyarankan agar anak diberi ruang untuk berbicara, hal itu dianggap sebagai tindakan melawan orang tua. Padahal, membuka ruang dialog justru menciptakan komunikasi yang sehat dan saling menghargai antaranggota keluarga.
Contoh lainnya seperti kepercayaan bahwa "Bernyanyi di dapur akan menyebabkan seseorang menikah dengan orang tua", atau "dilarang menggunakan sisir rusak karena dianggap bisa membuat anak menjadi bodoh". Kedua hal ini tidak logis secara nalar. Alasannya mungkin berkaitan dengan keselamatan atau kebersihan, namun disampaikan dengan cara yang menakutkan dan tidak masuk akal. Bahkan dalam percakapan sehari-hari pun, bentuk sesat pikir sering muncul. Misalnya, ketika seseorang ditanya "Mengapa memotong kuku malam hari?", seseorang menjawab bahwa "Itu tidak seburuk mencuri". Ini merupakan pengalihan isu dan bentuk argumen yang tidak berkaitan dengan pokok persoalan
Lalu terdapat pula argumen bahwa "Pohon besar seperti beringin dianggap angker karena tidak ada bukti bahwa makhluk halus tidak tinggal di sana". Argumen tersebut juga merupakan cacat logika. Ini adalah bentuk logika yang salah, karena membalik beban pembuktian. Tidak adanya bukti bukanlah bukti akan keberadaan sesuatu. Oleh karena itu, sangat penting bagi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dalam berpikir logis agar masyarakat tidak mudah tertipu oleh pernyataan yang tampak meyakinkan tapi sebenarnya menyesatkan. Sebagaimana disarankan Adimassana dalam bukunya, logika adalah alat pembersih pikiran dari kepercayaan yang tidak masuk akal dan pengaruh budaya yang membuat cara berpikir jadi tidak jernih.
Argumen yang ada dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa pola pikir yang keliru masih sering dianggap wajar oleh masyarakat. Pemikiran rasional harus terus ditumbuhkan agar masyarakat tidak terjebak dalam kepercayaan yang tidak masuk akal. Sebagaimana kata Immanuel Kant, "Sapere aude" yang artinya "Beranilah berpikir sendiri", karena pencerahan hanya datang kepada mereka yang berani menggunakan akalnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI