Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tumbal Arwah Jelangkung - 7

25 Februari 2016   16:42 Diperbarui: 10 April 2016   19:14 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Suara tangis pilu mewarnai suasana rumah Shanti. Wajah-wajah murung berselimut kesedihan mendalam, terlihat dari para pelayat yang berada di sana. Semua menyampaikan rasa kehilangan mendalam termasuk Lina. Ia menangis sejadinya di samping mayat Shanti, sahabat baiknya. Dirinya tak menyangka sahabatnya akan meninggal secara mengenaskan.

Ayah Shanti menceritakan dirinya menemukan mayat putri bungsunya tak jauh dari rumahnya. Ia melihat istrinya panik mencari anak mereka yang tidak berada di kamar. Ia tak menemukan anaknya di dalam rumah. Pikirannya langsung tertuju luar rumah.

Di sana, ia melihat puluhan orang berbondong-bondong mengerumuni sesuatu. Jantungnya berdebar tak teratur ketika hendak menghampiri kerumunan orang di sana. Tangannya membelah kerumunan agar dirinya leluasa lewat. Ia ingin sekali mengetahui siapa orang yang berada di tengah kerumunan.

Mayat perempuan tergeletak tak bernyawa di atas jalan. Posisi badannya telungkup. Tubuhnya berlumuran darah. Ia melihat luka parut mengelilingi pergelangan kaki dan tangannya. Seketika, dia menyadari mayat itu adalah anaknya sendiri—Shanti, yang menghilang dari rumah. Ia tak mampu menahan gejolak kesedihan meledak dalam dada. Tangisnya pecah saat itu juga. Ia tak peduli orang-orang melihat dirinya. Yang terpenting, inilah saat terakhir sang ayah bisa mendekap tubuh putrinya. Kematian memisahkan orang-orang yang kita sayangi, tanpa memperdulikan batas waktu dan insan yang terluka.

“CEPAT PANGGIL AMBULAN!“ air mata dan amarah bergabung menjadi satu dalam satu bentakan.

Lina masih terbayang cerita ayah Shanti yang mengaduk-aduk emosinya. Ia tak sanggup memandang wajah manis sahabatnya. Tubuhnya mendingin dan mengeras oleh cairan formalin.

Ia memilih pergi dari sana menuju halaman belakang. Lina tak sanggup lagi meredam luka hati yang diterimanya saat ini. Ia memilih untuk menyendiri. Di sana, ia coba merenungi semua kenangan yang sudah dilewatinya bersama dengan Shanti. Susah, senang, canda, tawa, sedih, sudah mereka lalui dan kini tinggallah kenangan semata.

Lamunan masa lalunya sedikit terusik dengan suara laki-laki yang mengejutkannya dari belakang.

“Mungkin ini sudah suratan Yang Maha Kuasa, Lin.“ ujar lelaki itu—Donni.

“Kalau bukan karena permainan itu, Shanti gak mungkin mati, Don!“ bentak Lina.Linangan air mata masih membasahi pipinya.

Donni bergeming. Ia tahu bahwa ide permainan jelangkung adalah idenya sendiri. Ia sama sekali tak menyangkal apa yang dikatakan Lina. Itu semua adalah kebenaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun