“Lina kabur dari rumah, Her. Ini gawat!” detak jantung Donni berpacu tak menentu, membuatnya makin tak karuan.
“Her, kau tahan mas Payino di sini, sementara aku akan mencari Lina.” Donni berjalan ke luar mengambil sepeda motornya yang terpakir tak jauh dari rumah mas Payino.
Donni mengencangkan resleting jaketnya hingga hampir menyentuh pangkal lehernya. Ia siap bertarung dengan angin malam yang selalu menerpa dadanya. Donni sudah melewati gerbang belakang sekolah lalu belok kiri melewati area sekolah. Sebenarnya, ia tidak tahu di mana keberadaan Lina. Ia hanya mengandalkan instingnya.Namun, satu hal yang diyakininya—ibu Hesty adalah dalang semua kejadian ini.
Donni memelankan gas sepeda motornya, mencoba memutar ulang ingatnya. Pernah salah satu siswa kelas XI-IPA 1 memintanya untuk diantar ke rumah ibu Hesty. Siswa itu beralasan bahwa dia ingin mengumpulkan tugas tambahan. Melihat mukanya yang memelas sedih, membuat hati Donni menjadi tergerak, padahal ia ingin segera pulang ke rumah.
Dan lagi, seingatnya, rumah bu Hesty terletak di sebuah perumahan yang belum terlalu ramai. Rumah-rumah yang berdiri di sana, masih terlihat jarang dan tanahnya dipakai juga untuk menanam singkong. Satu hal yang menarik adalah, dari empat rumah yang ada, hanya rumah bu Hesty yang cukup megah dengan gazebo dan taman minimalis.
Dengan petunjuk yang ia dapatkan, ia mempercepat laju sepeda motornya ke kawasan perumahan Grand Morista.
Jalan mulus yang terbentang sepanjang pasar Horas membuat waktu yang tersita tak terlalu banyak. Meskipun begitu, jalan itu selalu dipadati khalayak ramai yang menaiki kendaraan bermotor ataupun berjalan kaki ke warung terdekat. Pun, jalan itu tergolong jalan yang cukup kecil yang sering dilalui truk-truk besar. Ia mesti berhati-hati kalau tidak mau diserempet.
Sampai di persimpangan empat, terbentang jalan besar yang dibagi dua oleh sebuah pembatas beton. Donni memilih jalan yang di sebelah kiri karena seingatnya rumah bu Hesty rumah yang terlebih dahulu nampak. Setelah itu, baru tiga rumah yang yang terhalangi pepohonan singkong yang menjulang tinggi hampir menutupi pemandangan ketiga rumah.
Donni menekan pedal rem pelan-pelan. Matanya tertuju pada rumah yang dibatasi pagar besi berbentuk seperti tombak. Ia turun dari joknya dan mendentingkan lonceng kecil yang terpasang di dekat engsel pagar.
Ting... ting... ting!
“Tunggu sebentar,” suara wanita menyahutnya dari dalam.