"Kita belajar ilmu bela diri adalah untuk memahami rasa sakit. Ketika kita sudah merasakannya, maka sudah seharusnya kita tak menzalimi orang lain."
Begitu kira-kira perkataan guru silat saya di masa lampau. Ketika itu saya tak begitu paham, karena masih duduk di bangku SD. Kenyataannya, petuah tersebut banyak berlaku di berbagai bidang kehidupan. Tak hanya dalam dunia baku hantam, tetapi juga pada pekerjaan, kehidupan bertetangga, dan lain-lain.
Dewasa ini, betapa sering kita mendapati orang-orang yang punya kekuasaan berlaku keji pada saudaranya yang ia anggap lebih inferior
***
Setelah beberapa tegukan kopi, Marlina berkata kepada saya: "Kau tahu, sekarang ini wanita sedang tak baik-baik saja! Kalian para laki-laki sering memperlakukan kami secara berbeda!"
Orang-orang di warung kopi lantas memandang ke arah meja kami, karena perempuan berpaham feminisme  itu mengatakannya dengan suara berapi-api. Saya yang seharusnya sudah meneguk kopi, langsung diam memperhatikan keadaan sekitar.
"Pelan-pelan!"
Marlina sadar maksud saya, barulah dia senyum-senyum sendiri. Pada dasarnya di Kota Pontianak ini, banyak bertebaran penulis dengan pemikiran cemerlang, termasuk Marlina. Jadi saya sudah terbiasa melakukan dialog dengan berbagai kaum. Saya pun tak mempermasalahkan apa yang menjadi ideologi teman saya itu. Ya, Hak Asasi Manusia (HAM), itu yang membuat saya tidak terlalu kontra dengan pemikiran apa pun, karena saya tahu bahwa kadang-kadang sebagian orang menggunakan HAM untuk berlindung terhadap sesuatu yang tak perlu. Bukan berarti saya menolak, saya hanya benci  jika HAM menjadi kedok.
"Kalian itu, suka main kasar terhadap kaum kami! Padahal kita tercipta 'setara'!"
Tentu saja saya tak setuju, tapi saya tak menjawab, hanya menggeleng.
"Apa? Kau tak bisa jawab, ya?" Marlina tertawa girang.