"Bagaimana pula bercanda pakai aturan?"
Mungkin begitu pertanyaan sebagian orang ketika membaca judul esai ini. Wajar jika ada orang yang tidak menganut ajaran Islam mempertanyakannya. Barangkali mereka memang belum mendapatkan pelajaran tentang hal tersebut. Tapi kita---yang Muslim---punya "aturan main", tentu saja sesuai dengan syariat.
Esai ini sendiri terinspirasi dari cara bercanda orang-orang di sekitar saya---khususnya Muslim---yang bertentangan dengan ketentuan agama Islam. Kalau ada orang memiliki "keyakinan" berbeda, kemudian ia bercanda serta berkata tak pantas terhadap orang lain, saya tak ingin mengomentari, karena jelas perspektifnya dalam hal bercanda pasti memang berbeda. Oleh karena itu, daripada mengurusi "keyakinan" orang lain, lebih baik kita memperbaiki kualitas umat Islam itu sendiri.
Bagi rekan-rekan yang beragama Islam, izinkan saya berbagi pengetahuan tentang hal ini, tentunya dalam perspektif Islam. Saya bukan ustaz, bukan ulama. Hanya seorang awam yang ingin dirinya lebih baik bagi orang lain.
Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, "Sesungguhnya aku juga bercanda, namun aku tak mengatakan kecuali yang benar."
Junjungan kita pun bercanda, Sobat! Tak ada larangan untuk bercanda, namun dengan adab yang telah ditentukan.
Syekh as-Sayyid Nada menjelaskan hal pertama, niat bercanda untuk menghilangkan rasa bosan dan lesu, tidak untuk yang lain.
Kedua, tidak berlebih-lebihan dalam bercanda. Bercanda melampaui batas biasanya dilatarbelakangi oleh niat yang tidak benar. Terlalu banyak bercanda akan menjatuhkan kehormatan dan kewibawaan seseorang.
Ketiga, seorang Muslim menghindari bercanda dengan orang yang tidak suka bercanda, karena akan berakibat buruk.
Keempat, tidak bercanda mengenai hal-hal serius, misalnya dalam majelis ilmu.
Kelima, seorang Muslim tidak diperkenankan menakut-nakuti, mencela, menuduh, dan berdusta terhadap manusia.
Renungkan sabda Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam berikut ini, "Celakalah seseorang yang berbicara dusta untuk membuat orang tertawa, celakalah ia, celakalah ia."
Sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari---setidaknya di lingkungan sosial saya---kita membuat gurauan agar orang lain tertawa, namun dengan mengorbankan orang lain. Jelas, dalam perspektif Islam, hal itu tidak dibenarkan. Sayangnya, banyak sekali umat Islam yang kurang waspada tentang "jurang" yang akan membawa kita pada laknat Allah subhanahu wa ta'alaa.
Biasanya, dorongan hawa nafsu untuk "menonjol" dalam lingkungan sosial akan menjadi dasar motivasi seseorang melontarkan gurauan yang melewati batas.
Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Janganlah kalian banyak tertawa. Sesungguhnya tertawa dapat mematikan hati."
Sepanjang pengalaman saya, baik oknum pelontar gurauan maupun pendengar punya kesamaan: kecenderungan melecehkan orang lain. Singkat kata, senang melihat orang lain direndahkan.
Dikutip dari msn(dot)com, bahwa orang yang hobi mencela punya iri hati yang terpendam. Oleh karena itu, pencela sering mengungkapkan alasan tak masuk akal dengan mencari sisi buruk dan semua kekurangan orang lain.
Menurut psikolog Barbara Coloroso, orang yang hobi mencela adalah orang yang tidak mau berkaca diri.
Jadi, Sobat. Untuk apa kita berbicara dengan orang yang tidak mau "berkaca diri"? Saya menyarankan agar kawan-kawan tidak meladeni orang seperti itu. Buang-buang tenaga, dan kita beresiko melanggar syariat dengan membalas ucapan-ucapannya yang kosong.
Semoga Allah subhanahu wa ta'alaa menjaga lisan dan tingkah laku kita, serta memberikan berkat agar bisa masuk ke dalam surga-Nya. Aaaaammiinnn!
---
Referensi:
1. Al-Atsari, A. I. "Bercanda Menurut Pandangan Islam". 2018. Web. 19 Juni 2019. https://almanhaj.or.idÂ
2. Suhanda, Irwan. "Tentang Mereka yang Senang Mencela". 2018. Web. 19 Juni 2019. https://msn.com
3. "Adab Bercanda dalam Islam". 2018. Web. 19 Juni 2019. https://izi.or.idÂ
4. "Adab Bercanda dalam Islam (Bagian 1)". 2018. Web. 19 Juni 2019. https://republika.co.idÂ