Aku ingat betul, itu adalah awal kelas 6 SD. Di pipi kiriku, muncul noda putih sebesar biji jagung. Awalnya, aku tak acuh. Aku pikir itu noda biasa yang akan hilang dengan sendirinya. Namun, noda itu menetap, bahkan mulai melebar. Teman-teman yang penasaran sering bertanya, "Pipimu kenapa, Nan? Kayak kena panu." Pertanyaan polos itu menjadi bisikan yang menusuk.
Diam-diam, ritual baru dimulai. Malam hari, setelah semua orang tidur, aku mengendap ke kamar mandi. Kuoleskan Kalpanax pada bercak itu, berharap esok pagi keajaiban terjadi. Di siang hari, perisai kecilku adalah hansaplast. Aku menempelkannya dengan hati-hati, berusaha keras menyembunyikan kenyataan yang makin nyata. Tetapi, noda itu punya jalannya sendiri. Hari demi hari, ia tumbuh, seolah mengabaikan seluruh usahaku.
Masa itu berlanjut hingga aku kelas 3 SMP. Bercak di pipiku sudah sebesar bola tenis, dan hansaplast tak lagi bisa menutupinya. Rasa malu dan putus asa memuncak saat aku masuk SMA. Bercak putih itu kini tak hanya di wajah, tapi menyebar ke sekujur tubuh. Lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi tempatku tumbuh justru terasa seperti panggung penghakiman. Tatapan dan bisikan itu membuatku menyerah. Aku berhenti sekolah, menutup diri dari dunia yang terasa begitu kejam.
Badai tidak mereda. Justru badai baru datang. Kami sekeluarga pindah ke pedesaan, berharap bisa menemukan ketenangan. Namun, ketenangan itu tidak ada. Di sana, ketidaktahuan orang-orang lebih menusuk. Mereka mengira aku sakit panu ganas, bahkan ada yang bilang aku terkena air panas. Aku diasingkan, dijauhi, dan tak punya teman. Anak-anak kecil lari saat melihatku. Aku hidup dalam kesunyian, di dalam penjara yang terbuat dari ketakutan orang lain.
Tahun-tahun berlalu, dan kesendirian itu mengajariku sesuatu. Aku tidak bisa terus-menerus kalah. Di tengah keheningan yang memekakkan, sebuah keberanian kecil tumbuh. Aku memutuskan untuk cuek dan menerima. Aku mendaftar di program Kejar Paket C, berhasil lulus dengan nilai memuaskan. Untuk mengisi waktu, aku sering ke warnet, mencari tahu tentang dunia di luar sana.
Takdir punya cara uniknya sendiri. Pemilik warnet menawarkan pekerjaan kecil: menjaga warnet, melayani fotokopi, dan menjual pulsa. Gajinya kecil, hanya Rp50.000 sebulan, tetapi tawaran itu terasa seperti pintu gerbang menuju dunia yang hilang. Aku mengambilnya.
Di sana, di balik meja kasir yang sederhana, hidupku menemukan titik balik. Aku bertemu dengan orang-orang yang melihatku sebagai "Nan," bukan sekadar bercak di kulit. Mereka datang, bercanda, dan berbagi cerita tanpa peduli dengan warna kulitku. Di mata mereka, aku hanyalah bagian dari keseharian mereka.
Kebaikan itu menyembuhkan. Perlahan, aku mulai berani menatap cermin, bukan dengan kebencian, melainkan dengan penerimaan. Aku sadar, peta di kulitku bukan sebuah cacat, melainkan sebuah perjalanan panjang yang mengajarkanku tentang kekuatan, ketahanan, dan arti sesungguhnya dari penerimaan diri. Itu adalah peta yang tak akan pernah bisa disembunyikan, dan aku belajar untuk bangga memilikinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI