Fenomena ojek online (ojol) di Indonesia menjadi pilar penting ekonomi gig, menyediakan penghidupan bagi jutaan orang dan mengubah lanskap mobilitas perkotaan serta distribusi barang. Peran vital mereka menghubungkan kebutuhan masyarakat dengan penyedia jasa tak dimungkiri, menjadi urat nadi aktivitas ekonomi dan sosial. Mengacu potensi aksi massa ojol pada 20 Mei 2025, penting dipahami bahwa peristiwa ini bukan insiden tiba-tiba. Kemungkinan, aksi tersebut adalah puncak akumulasi keluhan dan tuntutan yang belum terpenuhi dari tahun-tahun sebelumnya, mencerminkan dinamika kompleks antara pengemudi, platform, dan regulator. Meskipun memberikan kenyamanan bagi pengguna dan membuka peluang ekonomi, pengemudi ojol sering dihadapkan pada tantangan sistemik: kesejahteraan minim akibat ketidakpastian pendapatan, perlindungan hukum ambigu dalam status kemitraan, hingga persepsi ketidakadilan relasi dengan platform digital. Aksi ojol pada 20 Mei 2025, dengan demikian, adalah manifestasi akumulasi aspirasi mereka terhadap kesejahteraan lebih layak, kepastian perlindungan hukum jelas, dan sistem kemitraan lebih adil dengan platform; semua elemen krusial bagi keberlanjutan dan keadilan sektor ekonomi gig yang berkembang pesat ini. Upaya memahami suara mereka menjadi esensial.
   Pemicu utama ketidakpuasan yang dapat berujung aksi adalah persoalan kesejahteraan, terkait pendapatan riil dan beban kerja tidak seimbang. Perubahan algoritma atau kebijakan tarif dan bonus oleh platform secara sepihak sering berdampak pada penurunan pendapatan aktual pengemudi. Mereka terpaksa bekerja lebih keras dan lama untuk penghasilan setara periode sebelumnya, atau bahkan lebih rendah [Lembaga Riset Ekonomi Digital, 2024]. Kondisi ini diperparah beban biaya operasional tinggi yang ditanggung pengemudi. Biaya harian seperti bahan bakar, perawatan kendaraan, pulsa, serta berbagai potongan aplikasi signifikan menggerus margin keuntungan bersih. Akibatnya, untuk mencapai target pendapatan minimum, banyak ojol terpaksa menjalani jam kerja sangat panjang dan tidak teratur. Fenomena jam kerja eksesif ini mengorbankan waktu istirahat dan sosial, juga berpotensi serius mengganggu kesehatan fisik dan mental jangka panjang, menciptakan siklus kerja tidak sehat [Wijaya &Santoso, 2023]. Tekanan ekonomi ini menjadi bara dalam sekam yang siap memicu protes lebih luas.
Aspek perlindungan menjadi isu sentral lain aspirasi ojol. Ambiguitas status hukum pengemudi, diposisikan platform sebagai "mitra" bukan "karyawan", melahirkan polemik. Konsekuensi status kemitraan ini adalah minimnya akses hak normatif pekerja sesuai undang-undang ketenagakerjaan: jaminan sosial kesehatan komprehensif, jaminan pensiun, tunjangan hari raya (THR), atau cuti berbayar. Ketiadaan jaring pengaman sosial ini membuat mereka rentan guncangan ekonomi. Lebih lanjut, risiko keselamatan dan keamanan di jalan raya selalu mengintai. Paparan potensi kecelakaan lalu lintas, kriminalitas, dan insiden tak terduga menjadi realitas kerja. Sayangnya, perlindungan atau kompensasi memadai dari platform atas risiko ini sering dirasa minim atau prosedurnya rumit. Mekanisme penyelesaian sengketa, terutama terkait penonaktifan akun (suspend/putus mitra) oleh platform, kerap dikeluhkan karena sepihak dan tidak transparan. Ketiadaan proses banding jelas dan adil membuat pengemudi lemah dan rentan kehilangan mata pencaharian tiba-tiba tanpa pembelaan memadai.
   Tuntutan kemitraan lebih adil menjadi artikulasi penting suara ojol. Transparansi operasional platform adalah poin utama. Ada desakan kuat agar platform lebih terbuka dan akuntabel menetapkan struktur tarif, mekanisme bonus/insentif, serta sistem evaluasi kinerja pengemudi berbasis algoritma tertutup [Koalisi Masyarakat Transportasi Online, 2025]. Ketidakjelasan ini sering menimbulkan kecurigaan dan rasa diperlakukan tidak adil. Selain transparansi, aspirasi dilibatkan lebih bermakna dalam pengambilan keputusan juga mengemuka. Pengemudi berharap tidak hanya menjadi objek kebijakan platform top-down, tetapi dapat berpartisipasi atau setidaknya didengar masukannya dalam perumusan kebijakan berdampak langsung pada pendapatan dan kesejahteraan mereka. Dialog konstruktif dan partisipatif antara perwakilan pengemudi dan manajemen platform menjadi kebutuhan. Untuk mengakomodasi aspirasi ini dan memperkuat posisi tawar mereka, keberadaan serta penguatan organisasi pengemudi, baik serikat pekerja maupun asosiasi, menjadi sangat penting. Organisasi solid dan representatif dapat berfungsi sebagai wadah sah menyalurkan aspirasi kolektif, melakukan advokasi kebijakan, serta menjadi mitra dialog seimbang di hadapan platform dan pemerintah.
Aksi ojol pada 20 Mei 2025, pada hakikatnya, adalah cerminan desakan kolektif untuk pengakuan atas kontribusi mereka, diwujudkan melalui kesejahteraan lebih layak, perlindungan hukum dan sosial pasti, serta kemitraan lebih adil dalam ekosistem ekonomi gig. Suara dari jalanan ini, mewakili jutaan pekerja di sektor informal baru, tidak bisa diabaikan, karena mereka adalah bagian integral roda perekonomian nasional bisn dan struktur sosial masyarakat perkotaan. Keberlanjutan model bisnis platform digital sangat bergantung pada kesejahteraan mitranya. Oleh karena itu, menjadi keharusan mencari titik temu antara kemajuan inovasi teknologi dan penguatan aspek keadilan sosial. Ekonomi gig hanya dapat tumbuh inklusif dan berkelanjutan apabila mampu memastikan kenyamanan digital konsumen dan keuntungan platform tidak dibangun di atas ketidakpastian kesejahteraan pekerjanya. Masa depan ekonomi gig yang adil menuntut kolaborasi semua pihak untuk mewujudkan ekosistem yang lebih manusiawi dan berkeadilan bagi semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI