Mohon tunggu...
Arkilaus Baho
Arkilaus Baho Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Duluan ada manusia daripada agama. Dalam kajian teori alam, bahwa alam semesta ini usianya 14.000 juta tahun, baru setelah 10.000 juta tahun kemudian terdapat kehidupan di bumi ini. Manusia jenis Homo Sapiens baru ada 2 juta tahun yang lalu, sedangkan keberadaan agama malah lebih muda dari kemunculan agama yaitu 5 ribu tahun lalu. B.J Habibi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Prahara Referendum Papua Barat, Solusi atau Masalah?

21 Januari 2014   23:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:36 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembela HAM Papua Barat

Era kebebasan demokrasi, referendum merupakan tingkatan tertingi dalam menyepakati suatu putusan tetap. Satu orang satu suara (one man one vote) ciri khas pelaksanaan proses yang disebut ini. Kerap digunakan dalam menentukan arah konstitusi (pemilihan konstitusi), digunakan pada tindakan pemilihan bebas untuk pesta demokrasi suatu negara (pemilu). Terakhir, dan inilah yang menjadi prahara menyoal metode penyelesaian masalah Papua Barat, dengan cara referendum demi menentukan status politik Papua dalam bingkai NKRI.

Aspirasi tersebut sudah mengemuka dalam sejarah perjuangan dunia. Pelaksanaan PEPERA 1969, walau tidak sesuai dengan mekanisme referendum yang ditetapkan oleh badan dunia seperti PBB, kini menjadi blunder sampai sekarng. Sebab, syarat referendum adalah setiap orang bebas menentukan pilihannya tanpa paksaan, intimidasi, teror maupun bentuk-bentuk lain yang bertujuan untuk membunuh kemerdekaan.

Referendum Papua tahun 1969, sebagaimana berbagai pihak menyatakan bahwa proses tersebut tidaklah demokratis. Apalagi hanya diwakili oleh 1.26 orang yang menurut penyelenggara dari PBB bernama UNTEA, mereka mewakili suku-suku. Alasan selanjutnya karena masalah geogfrafis wilayah yang sulit sehingga tidak memungkinkan untuk pemilihan langsung, yang seharusnya melibatkan 800 ribu jiwa Papua kala itu.

Prahara Referendum

Tuntutan agar ada pilihan bebas kepada Papua Barat, khususnya status politik, dikemukakan oleh berbagai pihak, dari organisasi, pengamat, pemerhati dan jenderal. Diawali semenjak perlawanan Organisasi Papua Merdeka terkait pelaksanaan PEPERA yang curang. OPM menuding Amerika-PBB-Belanda dan Indonesia bersengkongkol dalam mencederai proses tersebut yang memicu resolusi 2405. Demostrasi digelar di kota-kota Papua, usai hasil PEPERA diumumkan.

Protes kemudian berlanjut dari dahulu bersuara di hutan-hutan dengan menenteng senjata, sampai generasi selanjutnya menirukan tuntutan yang sama.

Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat, tahun 2006 menegasikan pepera ulang (referendum ulang) sebagai bagian demokratis dalam menyelesaikan masalah Papua. Tuntuan tersebut kemudian di angkat lagi oleh komponen gerakan sipil sampai sekarang. Sembari tuntutan dialog damai yang disuarakan dari pihak sipil lainnya. Cita-cita tersebut menuai beragam tanggapan dari kalangan Indonesia maupun Papua.

Tokoh Papua Barat sebagian memilih jalan referendum sebagai pilihan politis menentukan sikap apakah bergabung dengan Indonesia atau lepas. Sikap tersebut didukung. DR. George Junus Adjicondro pada satu kesempatan bedah buku di Jakarta, dia mendukung jalan referendum sebagai pola menangani Papua. Selain George, Prabowo Subianto pun pernah mengatakan dukungan bagi referendum. Pernyataan dia ini terkait maraknya demo-demo referendum yang digalang KNPB.

Sekarang Gubernur Papua, Lukas Enembe memastikan, jika minggu ke-tiga Januari 2014, Jakarta (pemerintah pusat) menolak usulan otsus plus, dia mengusulkan agar dilakukan referendum. Bedanya, apakah referendum yang dimaksudkan adalah bentuk penyelesaian masalah Papua secara keseluruhan ataukan sebatas mekanisme menurut NKRI.

[caption id="attachment_291312" align="alignnone" width="700" caption="Matius Murib (Pembela HAM, direktur Baptist Voice Papua Bagian Barat) Kontak person: mobile: 08124892975, email: matiusmurib@yahoo.com (gambar:diambil dari media sosial facebook)"][/caption]

Solusi atau Masalah?

Menanggapi unek-unek tersebut, salah satu pembela HAM Tanah Papua Barat, Matius Murib, melalui pesan media sosial facebook, mengurai pendapatnya. Menanggapi statemen Gubernur Enembe, Matius menilai bahwa posisi tawar Gubernur Provinsi Papua, cukup memadai untuk memohon perhatian yang lebih luas kepada Pemerintah Pusat. Substansi masalah Papua adalah kejahatan terhadap kemanusiaa dan tuduhan Pelanggaran Hak Asasi Manusia berat Gnosida Papua, sekiranya melalui draf UU Otonomi Khusus Plus dimaksud telah diatur tentang penyelesaian perkara pelanggaran hak asasi manusia; Negara memang harus bertanggungjawab melalui kebijakan Politik Hukum atau UU, tepat dan terukur sesuai tuntutan rakyat Papua dan korban pelanggaran HAM. Disatu sisi, menurut Direkrut suara Baptis ini, sesuai UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, Pemerintah baru merealisasikan dan memperkuat lembaga cultural orang asli Papua yang di sebut Majelis Rakyat Papua (MRP), yang diisi oleh sejumlah anggota masyarakat yang mewakili komponen adat, agama dan perempuan ini, diharapkan dapat memproteksi dan merawat hak hidup orang asli Papua.

Sementara mengenai mekanisme demokrasi dalam mengambil suatu keputusan, Murib mengatakan, penyerahan suatu masalah kepada orang banyak supaya mereka yang menentukannya (jadi, tidak diputuskan oleh rapat atau oleh parlemen); penyerahan suatu persoalan supaya diputuskan dengan pemungutan suara umum (semua anggota suatu perkumpulan atau segenap rakyat): akan diadakan di daerah dan tempat tertentu; Tidak wajib meminta pendapat rakyat secara langsung (bergantung pada keputusan penguasa), misalnya dalam penetapan undang-undang; Kewajiban meminta pendapat rakyat secara langsung dalam mengubah sesuatu, masalah terhadap perubahan konstitusi.

Matius Murib menengarai, pemerintah lamban dalam menangani masalah Papua. Menurutnya, masalah ekonomi dan Politik Papua Merdeka, yang berakibat pada terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, Pemerintah pusat di Jakarta tidak mau dan lalai untuk mengatur kelembagaan Hak Asasi Manusia secara permanen seperti MRP hingga saat ini. Semoga Pemerintah Indonesia mau dan beritikad baik untuk melihat dan merasakan suara Papua yang korban untuk di rehabilitasi dan direkonsiliasi secara adil dan damai melalui mekanisme referendum.

Terkait mekanisme apa yang memadai sebagai dasar menjembatani penyelesaian dari ancaman Gubernur Papua, Direktur Baptis Voice yang juga mantan perwakilan KOMNASHAM Papua, Matius Murib memberikan beberapa argumentasi handal. Upaya penyelesaian suatu masalah seringkali diselesaikan melalui mekanisme dialog, mediasi dan referendum, umumnya diselesaikan diluar konstitusi dan prosedur hukum formal, tulisnya. Tentang mekanisme, dia menulis bahwa, barangkali mekanisme penyelesaian masalah melalui “referendum” yang disampaikan Gubernur Provinsi Papua; kepada Pemerintah pusat; jika pihak Jakarta menolak draf Otonomi Khusus Plus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat, maka diancam akan diselesaikan melalui mekanisme “referendum” diharapkan tetap berfokus pada membahas isi atau pasal per pasal dari draf UU Otsus Plus yang sedang dinegosiasikan. Dan jika demikian maksunya adalah wajar dan sah. Menurutnya pada tahapan negosasi seharusnya tawar-menawar sebuah kepentingan sampai menemukan tujuan bersama ke dua belah pihak adalah sebuah proses yang harus dilalui, demikian tulisan opini singkat yang diedarkan via jejaring sosial.

Memang Referendum bukan hal tabu, tetapi keharusan. Apanya yang harus? Saat ini ada FLNKS, sebuah front sosialis dari Kaledonia Baru yang tengah mempersiapkan sebuah referendum yang akan digelar pada september 2014 mendatang. Mereka akan memilih secara bebas, apakah tetap dibawah naungan perancis ataukah negara sendiri sebagai sebuah negara baru di kawasan Melanesian. Proses tersebut juga mendapat kawalan dari MSG (Melanesian Spearhead Groub) yang mana FLNKS menjadi anggota disini.

Dan karena referendumlah, Timor Leste kini negara sendiri, pisah dari NKRI dengan berpenduduk kurang dari 2 juta jiwa. Papua Barat dalam prahara referendum pun, akankah terwujud tetapi tidak mengulangi kesalahan pepera 1969, ataukan sekedar orang Papua disuruh memilih otsus plus atau tutup freeport? bahkan mengkrucut pada tataran politik atas, status wilayah kedaulatan negara.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun