Setiap akhir semester, siswa di berbagai jenjang pendidikan kembali menghadapi realitas yg tidak pernah berubah. Misalnya, angka-angka di rapot, ranking kelas, dan penilaian formal yg dianggap sebagai cermin kemampuan belajar.Â
Bagi sebagian siswa, ini menjadi kebanggaan. Namun bagi banyak yg lain, ini menjadi sumber tekanan psikologis yg tak terlihat. Kecemasan akan nilai, rasa takut dimarahi orang tua, perbandingan sosial di antara teman sebaya, hingga perasaan gagal yg terus menghantui, menjadi beban mental yg terus tumbuh diam-diam di ruang kelas.
Sayangnya, topik kesehatan mental siswa masih belum menjadi perhatian utama dalam sistem persekolahan kita. Meskipun berbagai studi dan laporan menyebutkan peningkatan gangguan kecemasan dan stres pada peserta didik, pendekatan pendidikan kita masih terlalu fokus pada hasil akademik. Aspek emosional dan psikologis siswa sering kali terabaikan.
Sekolah idealnya menjadi tempat yg aman bagi semua siswa, baik secara fisik maupun psikologis. Namun dalam kenyataannya, tekanan dari tuntutan akademik sering membuat sekolah justru menjadi ruang yg menekan. Harapan akan nilai sempurna, pencapaian akademik yang tinggi, serta kompetisi antar siswa menciptakan atmosfer yang kompetitif tapi kerap tidak sehat. Tidak sedikit siswa yg datang ke sekolah dengan perasaan cemas, lelah secara emosional, atau bahkan merasa tidak cukup berharga.
Lebih menyedihkan lagi, ketika siswa menunjukkan gejala stres atau perubahan perilaku, tanggapan dari lingkungan sekolah seringkali belum sensitif. Masih banyak guru atau tenaga kependidikan yg merespons dengan penghakiman, bukan pendampingan. Kalimat seperti "kamu kurang usaha", "kamu terlalu manja", atau "jangan cengeng" justru menambah luka psikologis siswa yg sebenarnya sedang membutuhkan ruang aman untuk didengar.
Di sisi lain, fungsi layanan bimbingan konseling belum optimal. Banyak guru BK lebih dikenal sebagai penegak disiplin dibandingkan sebagai pendamping psikososial. Di banyak sekolah, siswa justru menghindari ruang BK karena takut dimarahi atau distigma. Padahal semestinya, layanan konseling menjadi tempat netral dan suportif bagi siswa untuk mengekspresikan masalah pribadinya.
Minimnya pelatihan bagi guru dalam mendeteksi dan menangani isu kesehatan mental juga menjadi kendala tersendiri. Guru mata pelajaran yg berinteraksi paling intens dengan siswa belum banyak yg memiliki bekal keterampilan dalam membaca sinyal-sinyal psikologis. Akibatnya, siswa yg sedang mengalami tekanan emosi dibiarkan larut dalam diam. Padahal diam, dalam konteks ini, bisa sangat berbahaya.
Laporan dari berbagai lembaga seperti UNICEF dan KPAI mencatat tren peningkatan gangguan mental pada remaja, khususnya pascapandemi. Siswa menghadapi tantangan besar dalam beradaptasi kembali dengan rutinitas sekolah, interaksi sosial, dan beban akademik yg kadang tidak relevan dengan kondisi psikologis mereka. Namun kebijakan pendidikan belum benar-benar merespons secara sistemik.
Transformasi budaya sekolah menjadi lebih empatik dan suportif adalah kebutuhan mendesak. Sekolah perlu membangun pendekatan yg lebih mendengarkan siswa, bukan sekadar mengukur mereka. Perlu ada integrasi program literasi emosional, forum reflektif, serta pelibatan psikolog atau konselor profesional dalam kehidupan sekolah sehari-hari. Selain itu, guru perlu dilibatkan dalam pelatihan yg membekali mereka untuk menjadi pendengar yg baik, bukan hanya pengajar yg efektif.
Beberapa sekolah sudah mulai mencoba hal ini. Di antaranya dengan melakukan sesi check-in emosi di awal pelajaran, menyediakan ruang curhat siswa, hingga menyisipkan aktivitas reflektif dalam pembelajaran. Ini adalah langkah awal yg positif, walau belum menjadi gerakan masif.
Perubahan sistem memang membutuhkan waktu. Namun perubahan sikap bisa dimulai hari ini. Guru bisa mulai dengan satu pertanyaan sederhana kepada siswanya, "Apa yang kamu rasakan hari ini?" Daripada langsung bertanya tentang PR atau nilai, pertanyaan semacam ini memberi sinyal bahwa kita peduli pada siswa sebagai manusia, bukan hanya sebagai murid.