Di era kecanggihan teknologi, pekerjaan rumah atau PR yang selama ini dianggap bagian penting dari pembelajaran, perlahan kehilangan daya. Bukan karena siswa makin malas, tapi karena mereka kini punya alat bantu yang jauh lebih cepat dan pintar, yakni teknologi kecerdasan buatan.
Dalam hitungan detik, AI bisa menyelesaikan soal pilihan ganda, merangkum artikel, menulis cerpen, hingga membuat presentasi PowerPoint yang lengkap dengan ilustrasi dan desain. Tugas-tugas yang dulu butuh waktu berhari-hari, kini bisa diselesaikan dalam lima menit dengan perintah teks sederhana.Â
Lalu apa yang tersisa bagi guru?
PR Bukan Lagi Ukuran Belajar
Realitanya, banyak PR hari ini tidak lagi mencerminkan kemampuan berpikir siswa. Saat tugas-tugas hanya berisi soal hafalan, ringkasan, atau pembuatan produk visual, siswa bisa menyelesaikannya tanpa benar-benar memahami isi. Mesin bisa bekerja untuk mereka.
Tentu bukan berarti siswa jadi tidak belajar. Justru inilah waktunya guru menata ulang tujuan tugas. Apakah PR memang masih relevan? Ataukah sudah saatnya kita berhenti memberi pekerjaan rumah hanya karena kebiasaan?
Dari Hasil ke Proses
Langkah pertama adalah memindahkan fokus dari hasil akhir ke proses berpikir. Guru dapat memberi tugas yang meminta siswa menuliskan bagaimana mereka menyelesaikan masalah, bukan hanya jawabannya. Sebuah esai reflektif, rekaman diskusi, atau logbook proyek bisa lebih bermakna daripada jawaban benar semata.
Siswa juga bisa diminta menunjukkan proses editing atau revisi yang mereka lakukan. Ini mengajarkan mereka bahwa belajar adalah perjalanan, bukan sekadar pencapaian.
Gunakan Konteks yang Tidak Bisa Dikerjakan AI