Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Nurul Arifin dan Demokrasi dari Atas Kasur

26 April 2010   08:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:34 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sabtu 24 April 2010 kemarin saya datang terlambat ke acara monthly discussion Kompasiana yang menghadirkan Nurul Arifin (NA), mantan artis yang sekarang menjabat sebagai anggota DPR RI di Komisi II. Saat tiba Pisa Café Mahakam, NA telah menyelesaikan paparannya dan tengah menjawab beberapa pertanyaan dalam sesi tanya jawab. Beberapa pertanyaan yang sempat saya perhatikan antara lain mengenai peran dan pandangan NA mengenai perlindungan terhadap buruh, otonomi dan pemekaran daerah, demokrasi dan pilihannya terhadap Golkar.

Mengenai perlindungan terhadap buruh, NA memperlihatkan dukungannya bagi setiap upaya yang dapat memberikan perlindungan menyeluruh kepada hak-hak dan kewajiban tenaga kerja. Bagi NA perlindungan tenaga kerja bisa dimulai dari rumah dengan antara lain memberikan haknya seperti gaji yang sepadan kepada PRT dan berupaya mengupgrade kemampuannya. Karena itu ia tidak mendukung gerakan tenaga kerja secara langsung seperti halnya yang dilakukan anggota DPR RI dari PDI-P, Rieke Dyah Pitaloka.

Dikemukakan bahwa terdapat perbedaan penugasan di DPR antara dirinya dan Rieke. NA bertugas di Komisi II yang antara lain berurusan dengan Pemerintahan Bidang Dalam Negeri, sementara Rieke berada di Komisi IX yang antara lain mengurusi tenaga kerja. Karena itu dengan alasan etika politik, NA tidak ingin mencuri panggung Rieke yang sesuai tugasnya di Komisi IX DPR menangani masalah tenaga kerja.

Menyangkut otonomi dan pemekaran daerah disampaikan bahwa Komisinya tengah membahas 33 usulan pemekaran daerah. Ia sendiri mendukung moratorium pemekaran daerah seperti yang disampaikan Pemerintah Pusat karena pemekaran yang dilakukan selama ini ternyata belum sesuai yang diharapkan.

Namun ia dan rekan-rekan di DPR tidak dapat menghentikan aspirasi pemekaran daerah yang disampaikan berbagai pihak karena ketentuan perundangan yang mengijinkan pemekaran daerah belum dicabut. Karena itu yang dapat dilakukannya adalah memperlambat prosesnya dimana setiap usulan pemekaran daerah diminta untuk melengkapi semua persyaratan yang diperlukan.

Data yang ada memperlihatkan bahwa dari 33 usulan yang masuk, baru 3 usulan yang memenuhi persyaratan. Selain itu setiap daerah yang dimekarkan hendaknya melewati tahapan transisi mulai dari daerah administratif hingga akhirnya menjadi daerah otonom. Hal ini juga untuk mengurangi kecenderungan yang selama ini terjadi dimana usulan pemekaran hanya datang dari elit politik, tanpa melibatkan peran serta masyarakat.

Mengenai demokrasi dan pilihannya terhadap Golkar, NA lagi-lagi mengambil contoh proses demokrasi yang berlangsung mulai dari rumah, bahkan sejak di atas kasur seperti komitmen terhadap pasangan serta hak untuk mendapat kepuasan dan menyatakan pendapat. Kalau hal seperti ini sudah bisa dilakukan di rumah, maka keluar pun akan lebih mudah melaksanakannya. Karena itu pula NA menyatakan komitmennya untuk hanya memilih satu partai yaitu Golkar. Kalau nanti ia sudah tidak di Golkar, ia tidak akan berpindah atau menjadi kutu loncat ke partai lain.

Adapun pilihannya terhadap Golkar didasarkan pada pertimbangan bahwa Golkar merupakan partai yang modern yang dikelola berdasarkan prinsip-prinsip manajemen kepartaian yang baik dan selalu menghormati hak-hak bersuara dan berinisiatif. Meski diakuinya bahwa di Golkar saat ini terjadi perbedaan pendapat yang kental antar anggotanya, namun perbedaan tersebut tidak menghambat para anggota untuk bersuara dan menjadi pengurus partai.

Mendengar jawaban-jawaban NA yang lugas dan terbuka, sepertinya kita bisa berharap kepadanya sebagai wakil rakyat. Ia memiliki komitmen yang kuat untuk berpolitik dengan baik dan santun. Sikapnya untuk tidak menjadi kutu loncat ketika gagal di Pemilu 2004 dan memilih untuk berupaya memperbaiki partainya dari dalam layak dihargai.

Selain itu pilihannya untuk menjadi anggota Komisi II, juga memperlihatkan keinginan yang begitu kuat untuk terus belajar dan memahami berbagai permasalahan di luar yang dikuasainya selama ini. Ini tentu saja sebuah pilihan yang cerdas, terlebih mengingat bahwa kebanyakan anggota DPR yang berlatarbelakang artis lebih memilih menangani masalah seni dan budaya.

Dari sedikit penilaian di atas, dapat dikatakan NA lebih baik dari politikus wanita lainnya, khususnya yang berlatar belakang artis, seperti Rachel Maryam (yang lebih menonjol berita perceraiannya dibanding prestasinya di DPR) atau Venna Melinda (yang lebih ngetop dengan inisiatif senamnya dibanding urusan politik). Yang mungkin bisa menyamai kinerjanya antara lain Rieke Dyah Pitaloka atau Angelina Sondakh yang saat ini memasuki periode kedua di DPR.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun