Status media sosial Mohammad Ahsan, pebulutangkis ganda putra Indonesia, di Facebook beberapa hari lalu menarik perhatian saya. Ia memberi selamat kepada pasangan ganda campuran Chen Tang Jie/Toh Ee Wei, yang baru saja mencetak sejarah menjadi juara dunia ganda campuran pertama bagi Malaysia. Indonesia pulang tanpa gelar s2atu pun, bahkan tanpa oemaib yang tampil di final.
Namun, ucapan selamat itu bukan sekadar basa-basi. Ada pesan penting yang terselip: keberhasilan pasangan Malaysia ini tak lepas dari sentuhan seorang putra Indonesia, Nova Widianto.
Menurut Ahsan, keberhasilan pasangan Chen Tang Jie/Toh Ee Wei tidak terlepas dari peran vital Nova Widianto, legenda bulutangkis Indonesia yang memilih meninggalkan tanah air untuk melatih tim Malaysia.Â
Nama Nova tentu tidak asing di telinga pencinta bulutangkis tanah air. Bersama Liliyana Natsir, ia pernah merajai panggung dunia pada era 2000-an. Nova dikenal bukan hanya sebagai pemain yang cerdas, tetapi juga sebagai sosok yang mampu membaca permainan dengan jeli.Â
Ketika memutuskan banting setir menjadi pelatih, banyak yang percaya ia akan menjadi aset berharga bagi regenerasi bulutangkis Indonesia, khususnya di sektor ganda campuran.
Namun, sejarah berkata lain. Alih-alih diberi ruang maksimal di dalam negeri, Nova justru mengambil keputusan besar yaitu menerima tawaran melatih tim Malaysia.Â
Keputusan yang sempat mengundang tanda tanya, kini terjawab manis dengan sebuah gelar juara dunia yang bahkan belum pernah dicicipi Malaysia sebelumnya di sektor ganda campuran.
Bagi Malaysia, Nova adalah sebuah paket lengkap. Ia datang dengan pengetahuan, pengalaman, dan filosofi yang terbukti mampu mengangkat permainan murid-muridnya ke level tertinggi.Â
Sementara bagi Indonesia, kepergian Nova adalah pengingat, bahwa talenta, betapapun hebatnya, akan memilih pergi jika tidak diberi ruang tumbuh.
Di sinilah letak ironi yang disorot Ahsan. Indonesia dikenal sebagai gudang talenta bulutangkis dunia, tetapi bagaimana mengelola dan menghargai sumber daya itu sering kali menjadi persoalan klasik.Â