Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Penulis, Pemerhati hubungan internasional, sosial budaya, kuliner, travel, film dan olahraga

Pemerhati hubungan internasional, penulis buku Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. http://kompasiana.com/arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Senjakala Seorang Pekerja Migran Indonesia di Tawau

23 Agustus 2025   17:20 Diperbarui: 24 Agustus 2025   10:19 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi entang seorang PMI di hari tua, sumber gambar: Dokpri Aris Heru Utomo

 Sudah tiga minggu ini Jamaludin atau Jamal (bukan nama sebenarnya) tinggal di tempat penampungan bagi WNI terlantar di Konsulat RI Tawau. Dari KTP-nya, Jamal lahir di Mentok, Bangka pada Februari 1952. Sehingga usianya kini 73 tahun.

Rambutnya pendek dan sudah memutih semuanya. Ia duduk di kursi roda yang disediakan oleh Konsulat. Sejak terkena stroke pada masa COVID-19 tahun 2020, kedua matanya tak lagi mampu melihat dunia. Untuk berjalan pun perlu dituntun.

Hari-hari Jamal di penampungan Konsulat berjalan dengan ritme yang sederhana. Ia tinggal di sebuah kamar kecil di lantai dasar yang biasanya dipergunakan sebagai mushola pengunjung, sebuah kursi roda selalu berada di dekatnya, seakan menjadi sahabat setia yang menemaninya kemana pun.

Setiap hari, staf Konsulat atau petugas pengamanan bergantian membantu Jamal. Ada yang menuntunnya menuju kamar mandi atau pos satpam untuk berbincang-bincang mengisi waktu. Ada pula yang menyediakan makan sederhana berupa nasi, lauk seadanya, dan teh hangat. Meski makan perlahan, Jamal selalu berusaha menghabiskan porsinya.

Meski fisiknya ringkih dan matanya tak lagi mampu melihat, Jamal tetap menunjukkan semangat hidup yang kuat. Ia sering berkata, "Saat belum terkena stroke, saya masih kuat berlari marathon. Sekarang pun masih bisa berjalan. Tapi karena tidak bisa melihat, Saya perlu dituntun orang lain untuk berjalan," ucap Jamal dengan suara bergetar.

"Saya sudah kehilangan banyak hal, tapi tidak kehilangan harapan. Itu yang membuat saya masih bisa bertahan," ucap Jamal lagi.

"Panggil saya Jamal saja," ucapnya ketika saya memastikan namanya.

"Bapak dari pengurus syarikat (perusahan perkebunan) ya?," tanyanya menduga-duga ketika saya mengenalkan diri. Pertanyaan yang wajar karena ia tidak dapat melihat penampilan saya.

"Bukan Pak, beliau Kepala perwakilan di Konsulat," sela Sam, salah seorang anggota Satuan Pengaman di Konsulat, yang hari ini bertugas menjaganya.

Dari perkenalan singkat, percakapan kemudian mengalir, kadang diselingi tawa, kadang pula air mata. Ada kerinduan yang tak tersampaikan, ada kisah perjalanan panjang seorang anak bangsa yang menua jauh dari kampung halaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun