Menyusul konflik bersenjata di perbatasan selama 4 hari, dengan dimediasi oleh Malaysia sebagai Ketua ASEAN 2025, Thailand dan Kamboja sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Kesepakatan tersebut dicapai setelah Perdana Menteri Malaysia  Anwar Ibrahim bertemu dengan Perdana Menteri Kemboja, Hun Manet dan Pemangku Perdana Menteri Thailand, Phumtham Wechayachai di Kompleks Seri Perdana, Putrajaya, Senin 28 Juli 2025.
Keberhasilan mediasi Malaysia sebagai Ketua ASEAN 2025 tersebut seperti mengulangi keberhasilan diplomasi Indonesia saat menjadi Ketua ASEAN 2011 untuk menyelesaikan ketegangan serupa pada Februari 2011.
Kala itu, konflik bersenjata di sekitar kuil Preah Vihear tersebut membuat Kamboja meminta campur tangan Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, berkat inisiatif Indonesia sebagai Ketua ASEAN saat itu, kedua negara berhasil didorong ke meja dialog. DK PBB pun mengurungkan niatnya turun tangan. ASEAN tampil sebagai fasilitator perdamaian yang efektif di kawasan.
Namun, sejarah seolah tak menjadi pelajaran. Dalam konflik terbaru ini, Kamboja kembali meminta bantuan pihak luar, kali ini Amerika Serikat. Donald Trumph sebenarnya siap membantu dan bermaksud menunda perundingan tarif dengan kedua negara tersebut. Namun seperti di tahun 2011, Thailand dan Kamboja akhirnya sepakat menggunakan bantuan dari Malaysia sebagai Ketua ASEAN 2025 untuk mendamaikan mereka.
Namun demikian, meskipun Malaysia sebagai Ketua ASEAN 2025 berhasil menghentikan konflik bersenjata, namun sejatinya memunculkan kembali pertanyaan tentang mengapa ASEAN, organisasi kawasan yang membanggakan prinsip antara lain menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, keutuhan wilayah, dan identitas nasional negara anggota, namun justru kerap kehilangan relevansi saat anggotanya berkonflik?
Padahal ASEAN sesungguhnya memiliki berbagai instrumen penyelesaian konflik yang tertuang dalam Piagam ASEAN, Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama (TAC), hingga Code of Conduct yang mengatur norma interaksi negara anggota. Bahkan, ASEAN memiliki mekanisme yang lebih khusus untuk menangani konflik antar anggotanya - High Council atau Dewan Tinggi - yang termaktub dalam pasal 14 TAC. Sayangnya, mekanisme ini belum pernah diaktifkan sejak berdirinya ASEAN.
Seperti disebut dalam pasal 14 TAC, High Council sendiri merupakan badan yang dibentuk untuk menyelesaikan sengketa antarnegara anggota secara damai. Mekanisme ini memungkinkan penyelesaian lewat mediasi, konsiliasi, atau rekomendasi, dan melibatkan wakil dari masing-masing negara yang bersengketa, ditambah perwakilan dari negara-negara anggota lainnya. Ia dirancang sebagai forum yang bersifat regional, netral, dan sesuai dengan semangat "musyawarah dan mufakat" yang menjadi ciri khas ASEAN.
Namun dalam praktiknya, mekanisme ini nyaris menjadi artefak hukum yang mati suri. Negara-negara anggota ASEAN lebih sering bergantung pada pendekatan bilateral atau bahkan meminta campur tangan aktor eksternal, seperti DK PBB, Amerika Serikat, atau China. Hal ini menunjukkan krisis kepercayaan terhadap kemampuan ASEAN untuk mengelola konflik internalnya sendiri.
Pertanyaan yang kemudian mencuat adalah mengapa High Council Tidak Pernah Diaktifkan?
Setidaknya ada tiga alasan. Pertama, kekhawatiran negara anggota bahwa membawa konflik ke forum ASEAN dapat mempermalukan pihak yang bersengketa. Kedua, budaya dan prinsip "non-intervensi" dan "konsensus" yang kuat dalam ASEAN membuat negara anggota enggan membuka ruang bagi tekanan kolektif. Ketiga, kurangnya preseden membuat High Council tidak familiar, bahkan di kalangan diplomat kawasan sendiri.