Dulu, setiap kali seorang rekan akan berpindah tugas ke tempat lain, kami selalu punya tradisi sederhana namun bermakna: memberikan kenang-kenangan berupa gambar kartun dirinya.
Gambar tersebut bukan sekadar sketsa biasa, melainkan karya tangan seniman kartun atau kartunis yang membuka kios di depan Gedung Kesenian Jakarta, kawasan Pasar Baru. Tempat ini sudah lama menjadi langganan bagi mereka yang ingin mengabadikan wajah dengan sentuhan humor dan seni.
Prosesnya memerlukan waktu beberapa hari. Kami menyetorkan foto, memberi tahu sedikit karakter dan hobi sang rekan, lalu sang kartunis mulai bekerja. Biaya pembuatan tergantung ukuran dan tingkat kerumitan detail.
Kini, semuanya berubah. Dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI), gambar kartun bisa jadi dalam hitungan menit.
Pelanggan cukup menyusun prompt yang tepat yang memuat deskripsi visual tentang karakter, ekspresi, dan suasana maka AI langsung memproduksi ilustrasi digital yang mendekati keinginan pengguna. Jika wajahnya belum cukup mirip, tinggal dipoles sedikit dengan aplikasi seperti face-swap, dan hasilnya siap dicetak atau dibagikan.
Bagi pelanggan, proses pembuatan kartun yang cepat dan gambar yang sesuai dengan yang diharapkan tentu saja menyenangkan dan lebih menguntungkan. Namun mungkin tidak bagi kartunis itu sendiri. Kehadiran AI bisa menjadi ancaman bagi keberadaan kartunis akibat berkurangnya pesanan gambar kartun.
"Wah, kalau semua orang membuat gambar kartun dengan bantuan AI, profesi kami bisa musnah,"ujar seorang teman yang terbiasa membuat kartun.
Pernyataan tersebut keluar karena melihat fenomena yang terjadi saat ini dimana terjadi penurunan minat terhadap kartun manual. Banyak pelanggan kartun yang kini beralih ke AI karena lebih murah, cepat, dan fleksibel. Sebuah ilustrasi yang dulunya membutuhkan waktu 3--5 hari kini dapat selesai dalam 5--10 menit. Bahkan bisa dilakukan dari rumah, tanpa perlu datang ke kios fisik.
Meskipun demikian, fenomena tersebut sebenarnya bukan sekadar tentang kartun, melainkan tentang bagaimana seluruh profesi seni visual menghadapi gelombang baru teknologi.
Bagi sebagian, AI adalah ancaman. Tapi bagi yang lain, AI adalah ala seperti kuas digital baru yang bisa mempercepat proses kreatif dan membuka pasar lebih luas.
Oleh karena itu, tidak semua kartunis merasa kehilangan panggung. Banyak yang justru mulai berevolusi dengan memanfaatkan AI sebagai alat bantu, bukan sebagai pesaing.
Ada kartunis yang belajar menyusun prompt untuk menghasilkan draft visual dengan AI, lalu menyempurnakannya dengan tangan. Ada pula yang menjual jasa pengeditan kartun AI agar lebih personal dan ekspresif, atau menjadikan karyanya bagian dari merchandise digital dan NFT.
Namun, di tengah evolusi yang terjadi, ada hal yang tak boleh hilang yaitu nilai-nilai dasar dari seni itu sendiri: kepekaan, kreativitas, dan cerita di balik setiap gambar. Kartun atau karikatur, lebih dari sekadar gambar lucu, adalah bentuk penghargaan, dokumentasi emosi, dan kenangan visual.
Selain itu, ada rasa hangat yang hanya bisa lahir dari karya manusia: guratan tangan, imajinasi seniman, dan semangat personalisasi yang tak tergantikan.
Oleh sebab itu, profesi kartunis ke depan mungkin tidak akan hilang. Mereka akan tetap ada. Namun kehadirannya akan sangat tergantung pada sejauh mana mereka mampu beradaptasi, memadukan tangan dan teknologi, seni dan sistem, agar tetap relevan di hati para pencinta gambar yang jujur dan bermakna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI