Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Penulis, Pemerhati hubungan internasional, sosial budaya, kuliner, travel, film dan olahraga

Pemerhati hubungan internasional, penulis buku Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. http://kompasiana.com/arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Idul Adha dan Hangatnya Gotong Royong Masyarakat Jawa di Tawau

7 Juni 2025   21:41 Diperbarui: 8 Juni 2025   17:42 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemotongan hewan kurban, sumber foto: dokpri ArisHeru Utomo

Segera setelah menerima hewan kurban, prosesi penyembelihan pun dimulai. Para pria yang bertugas mulai melakukan tugasnya mengikat kaki dan leher sapi, sebelum kemudian secara bersama-sama merobohkan sapi tersebut menghadap kiblat.

Setelah membaca bismillah sebagai bentuk doa dan pengesahan ibadah, penyembelihan dilakukan dengan sekali gerakan potong pada leher hewan kurban. Pemotongan dilakukan secara cepat dan tegas untuk meminimalkan rasa sakit pada hewan.

Setelah disembelih, tali yang sebelumnya mengikat semua kaki sapi dilepaskan dan sapi dibiarkan hingga benar-benar mati sebelum diproses lebih lanjut. Ini dilakukan agar seluruh darah keluar dari tubuh hewan, yang juga merupakan salah satu syarat kehalalan daging. Proses ini berkontribusi terhadap kebersihan dan kualitas daging, serta menghindari kontaminasi yang dapat merugikan konsumen.

"Iki daging ndhas, dikasih Mbah Sarmo wae, sing wes sepuh (ini daging bagian kepala dikasihkan untuk Mbah Sarmo saja, yang sudah tua)" kata seorang ibu sambil memotong-motong daging.

"Sing ati-ati yo, ojo kelalen (hati-hati, jangan sampai lupa)," sahut yang lain sambil menyusun plastik-plastik berisi daging di atas tikar plastik.

Sambil bekerja memotong daging dan sebagian membantu memasukkannya ke kantong plastik, para bapak dan ibu bercerita dalam Bahasa Jawa. Anak-anak berlarian, penasaran dengan proses penyembelihan, namun segera ditegur dengan lembut, "Le, ojo dolanan nang kene. Iku wedus isih anget! (Nak, jangan mainan disini. Ini sapi masih hangat)".

Menjelang pukul 13.00 semua daging dan tulang sudah selesai dimasukkan ke kantong-kantong plastik yang jumlahnya lebih dari 150 kantong. Cukup untuk didistribusikan ke masyarakat Indonesia yang ada di sekitar kawasan tersebut. Mereka yang menerima daging kurban bukan hanya warga masyarakat Jawa, tetapi juga warga yang berasal dari daerah lain seperti Bugis atau Toraja.

Sebelum dilakukan pembagian daging kurban, seluruh panitia dan warga yang berada di lokasi pemotongan terlebih dahulu melakukan santap siang bersama dengan menu nasi atau lontong, sayur nangka, empal daging, ikan asin, tempe dan tahu. Mereka menyantap hidangan yang walau pun terkesan ala kadarnya, tetapi kehangatannya jauh lebih dari sekadar makanan.

Setelah semua yang hadir menyelesaikan santap siangnya dan perut pun kenyang, selanjutnya dilakukan proses pembagian daging kurban. Satu per satu warga yang telah menerima kupon mengantri dengan tertib sebelum menerima sekantong hewan kurban dari shohibul qurban. Tidak ada desak-desakan apalagi sampai rebutan daging kurban.  

Menyaksikan proses pemotongan dan pembagian daging kurban yang rapih, tenang dan guyub (rukun), penulis melihat bahwa hal tersebut bukan sekadar bagi-bagi daging, Idul Adha di Tawau yang dilakukan masyarakat Jawa ini adalah sebuah perayaan atau pesta kecil kebersamaan. Berkumpul bersama dan bergotong royong menyembelih hewan kurban dan membagi-bagikannya.

Seorang nenek yang mengenakan kebaya merah menghela napas pelan sambil berkata, "Sakniki, ngene iki sing tak kangenne saka kampung halaman. Guyub, rukun, iso ngguyu bareng-bareng (sekarang, hal seperti ini yang dikangeni dari kampung halaman. Guyub, rukun, bisa tertawa-tawa bersama)"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun