Mungkin karena di Liga Primer, mereka sudah lelah dihajar oleh tim-tim seperti  Brighton, Bournemouth  atau Brentford, tim-tim yang bahkan tidak bermain di Liga Primer saat MU masih dilatih Sir Alex Ferguson.  Di Liga Eropa, lawan-lawan seperti Olympiakos atau Genk seperti lebih mudah ditaklukkan. Bahkan Athletic Club atau Atletico Bilbao yang merupakan peringkat ke-4 Liga Spanyol dapat dengan mudah digasak 7-1 oleh MU.Â
Taktik? Mungkin. Keberuntungan? Jelas. Fokus? Bisa jadi.
Beberapa analis bilang ini soal taktik, lainnya menyebut faktor mental. Tapi yang pasti: saat banyak tim Inggris kelelahan bertarung di empat kompetisi, MU dan Spurs perlahan mengurangi beban, dengan tidak berprestasi di Liga!
Lalu mengalihkan semua tenaga ke satu tujuan: Liga Europa. Dan voila, strategi "lupakan Liga Primer, incar piala" akhirnya membawa mereka ke final. Ironis? Tentu saja. Partai final Piala Eropa menjadi suatu ironi tersendiri, seperti final rasa derby zona degradasi.
Betapa tidak, dua klub yang sepanjang musim berada di ambang kehancuran, kini berebut satu tiket ke Liga Champions musim depan. Final ini jadi semacam plot twist: siapa pun yang menang, akan masuk ke panggung paling elit Eropa, meskipun di liga nyaris turun kasta.
Fenomena ini hanya bisa terjadi di Inggris, dimana liganya konon paling kompetitif, paling kejam, dan paling "tak bisa diprediksi". Tahun ini, Liga Primer memberi kita kisah underdog yang bukan underdog. Dua tim besar yang sedang terpuruk, tapi masih bisa bersinar di luar Inggris, di Eropa.
Dan kita, para penonton, hanya bisa tertawa, menggeleng, lalu menunggu siapa yang akhirnya akan dijuluki: Raja Eropa dari Zona Degradasi. ****
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI