Mengulang apa yang pernah dijelaskan teman saya, saya sampaikan bahwa suatu hari nanti bisa saja dunia kehilanganmu, tapi bukan kata-katamu. Kata-katamu akan hidup dan menjadi kekuatan.Â
Menulis buku bukan untuk menjadi penulis terkenal, bukan untuk kaya dari royalti, tapi sebagai jejak pikiran dan jiwa yang abadi.
Jadi, menulis satu buku sebelum mati bukan soal ambisi, ini soal warisan. Tak perlu menunggu jadi profesor, motivator, atau selebritas. Kamu bisa menulis tentang apa saja.
Tapi di era digital seperti sekarang, apakah buku masih relevan? Jawabannya: justru semakin penting .
Buku, baik dalam bentuk fisik maupun digital, bukan sekadar kumpulan kertas yang dijilid rapi atau file PDF yang tersimpan di tablet.Â
Buku adalah jendela dunia, penyimpan sejarah, dan pendorong imajinasi. Dari buku, kita mengenal masa lalu, memahami masa kini, dan mempersiapkan masa depan.
Bahkan di tengah laju informasi yang serba instan, buku tetap memberikan kedalaman , bukan sekadar permukaan. Saat media sosial menawarkan informasi cepat, buku menawarkan pemahaman . Dan itu adalah hal yang mahal di era banjir data seperti sekarang.
Hari Buku Sedunia juga menjadi momentum untuk mengingat bahwa akses terhadap buku adalah hak, bukan hak istimewa . Masih banyak sudut dunia, termasuk di pelosok Indonesia, yang minim perpustakaan, toko buku, bahkan koneksi internet.Â
Maka, memperingati Hari Buku bukan sar soal membeli buku baru, tapi juga tentang berbagi: menyumbangkan buku, membangun perpustakaan mini, atau sekadar mengajak anak-anak membacakan cerita.
Penting juga untuk mengapresiasi penulis dan penerbit yang terus berkarya di tengah tantangan zaman. Tanpa mereka, tak akan ada cerita yang bisa kita baca, pelajari, atau bagikan. Mereka adalah penjaga peradaban---dengan kata-kata sebagai senjatanya.