Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Botak dan Gondrong Kadang Begitu

30 April 2020   08:04 Diperbarui: 30 April 2020   15:27 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampak depan Buku Hidup Kadang Begitu, yang ditulis oleh Kang Maman dan Gus Nadir. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Besarnya honor yang diberikan tersebut cukup untuk memenuhi permintaan istrinya yang ingin mengganti lemari es yang sudah berusia 27 tahun dan sering mengalami kerusakan.  

Kejadian tersebut membuat Kang Maman semakin bersyukur. "Di balik "kehumoran-Nya", aku selalu percaya rezeki-Nya tidak pernah salah alamat dan bergeser barang sedetik," begitu tulisnya.

Pada artikel lain, Gus Nadir menuliskan mengenai perilaku umumnya pendakwah (apapun agamanya) yang seringkali bersuara keras seperti orang yang tengah marah-marah. 

Dari pengamatannya, ia melihat bahwa pendakwa marah-marah atau bersuara keras karena ternyata telinganya sendiri tidak mendengar suara orang lain, mirip bicara orang yang tengah mengenakan earphone.

Karena itu penulis mengingatkan penting siapapun untuk lebih mengedepankan "pendengaran" dibanding "penglihatan." "Semakin luas wawasan kita, semakin banyak kita mendengar suara yang beraneka ragam, akan menyadarkan kita semakin bijak" begitu tulis Gus Nadir.

Bahwa hidup kadang begitu juga berlaku pada saat kita melaksanakan ibadah puasa Ramadhan seperti sekarang ini. 

"Godaan merasa lebih alim bisa juga menerpa mereka yang rajin beribadah. Perasaan lebih alim itu harus kita latih untuk kita pendam," tulis Gus Nadir dalam artikelnya "Orang-orang yang merasa lebih."

"Kalau selepas Ramadhan kelak kita masih merasa lebih alim, lebih hebat, lebih mampu dan lebih memiliki daripada yang lain, maka puasa kita belum "ngefek" ke perilaku kita sehari-hari," ujar Gus Nadir mengingatkan.

Sementara terkait keberagaman dan sikap toleran yang menjadi ramai belakangan ini, Kang Maman dengan santuy mencontohkan salah satu aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam hidup keseharian masyarakat Indonesia lewat artikelnya "Kami berbeda."  

Dalam artikelnya ia menceritakan pengalamannya berpuasa di tahun 1990an, masa-masa ia menjadi anak kos berkantung pas-pasan. Karena keterbatasan uang saku, ia pernah hampir berbuka puasa dengan jambu klutuk yang "dicuri" dari halaman sebuah rumah yang pintu halamannya terbuka. Tak dinyana, saat hendak mengambil jambu klutuk, pemilik rumah keluar, seorang ibu tua berkulit putih

Tak dinyana pula, alih-alih dimarahi dan pemilik rumah ketakutan karena ada maling jambu memasuki halaman rumahnya, Kang Maman muda justru ditawari masuk ke rumahnya dan diberikan segelas teh manis dan kue yang ada di meja untuk berbuka puasa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun