"Rafli, bangun sudah!" Suara itu mengagetkanku. Kukira tidak ada yang lebih mengganggu dari suara ayam yang berkokok di pagi hari. Suara tante yang sudah kuanggap ibuku sendiri laksana geledek, memekakkan telinga.
"Tunggu, sa(saya) masih ngantuk, mama." Ujarku tak rela melepaskan selimut.
"Eh, ko(kau) tidak ke sekolah? Pak guru sudah suruh anak-anak SD berbaris di depan." Serunya sembari menggedor-gedor pintu kamarku.
"Masih gelap ini, mama. Nanti baru sa bangun."
Tak lama kemudian, lubang kunci berdecit cepat, tanda kunci sedang berputar di dalamnya. Matilah aku! Seketika rasa kantuk tak lagi ingin memelukku.
Tante punya kunci cadangan untuk setiap kamar dirumah ini. Jika ia harus menggunakannya, maka sesuatu yang buruk akan menimpa siapa saja yang berada dibalik pintu.
"Iya-iya sa sudah bangun, mama." Ujarku sembari memohon tidak terkena amarahnya.
Ia masuk dan menjewer telingaku tanpa ampun. Seperti sapi yang ditarik sang gembala, ia menggiringku keluar dari kamar, melewati puluhan orang yang duduk di teras belakang rumah kami yang tertawa terbahak-bahak. Aku meronta dan berteriak seperti anjing gila, karena sakit ditelinga yang ditarik hingga sampai ke pintu kamar mandi.
"Mandi sudah, abis itu pake seragam. Ko lihat teman-teman di depan itu, sudah rapi, seragam isi dalam." Katanya sembari menunjuk-nunjuk barisan anak-anak SD di depan rumah kami.
Sekolahku memanglah tidak jauh, sekitar tiga puluh langkah dari rumah. Itulah kenapa anak-anak berbaris hingga sampai ke pekarangan kami.