Pada tahun 2019, dunia, termasuk Indonesia, dilanda pandemi Covid-19. Situasi ini memaksa pemerintah mengambil langkah luar biasa dengan menetapkan kedaruratan kesehatan masyarakat melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020, disusul dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Pandemi tersebut tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan dan ekonomi, tetapi juga memengaruhi sistem hukum dan peradilan pidana. Salah satunya terkait pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), yaitu kewajiban Jaksa Penuntut Umum untuk memasukkan terpidana ke lembaga pemasyarakatan.Â
Namun, dalam praktiknya, muncul fenomena penundaan eksekusi dengan dalih pandemi, termasuk pada kasus Silfester Matutina yang putusannya telah inkracht sejak tahun 2019, tetapi hingga tahun 2025 belum dieksekusi.
Dasar Hukum Eksekusi Putusan Pidana
Secara normatif, pelaksanaan putusan pidana diatur jelas dalam beberapa peraturan perundang-undangan:
- Pasal 270 KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981):Â pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa.
- Pasal 30 ayat (1) huruf b UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (jo. UU No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan): menegaskan kewenangan kejaksaan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap.
- UU Pemasyarakatan (UU No. 12 Tahun 1995 jo. UU No. 22 Tahun 2022): menyatakan bahwa narapidana ditempatkan di lembaga pemasyarakatan setelah adanya eksekusi dari jaksa.
Dengan demikian, kewajiban eksekusi merupakan norma imperatif (mandatory rule), tidak dapat diabaikan kecuali terdapat alasan hukum yang sah.
Pandemi Covid-19 dan Penyesuaian Prosedural
Dalam kondisi pandemi, memang terdapat aturan yang menyesuaikan prosedur eksekusi:Â
- Keppres No. 11 Tahun 2020 : menetapkan kedaruratan kesehatan.
- PP No. 21 Tahun 2020 : PSBB membatasi aktivitas fisik.
- SEMA No. 1 Tahun 2020 : sidang dilakukan secara elektronik.
- SE Jaksa Agung No. 2 Tahun 2020 : mengatur pelaksanaan tugas kejaksaan dengan protokol kesehatan.
- Kepmenkumham No. M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 : pengeluaran narapidana melalui program asimilasi dan integrasi untuk mengurangi kepadatan lapas.
- SE Ditjen PAS Tahun 2020 : penerimaan tahanan/terpidana baru harus melalui tes kesehatan dan karantina 14 hari.
Namun penting dicatat, aturan-aturan tersebut tidak menghapus kewajiban eksekusi. Penyesuaian hanya pada prosedur teknis.Â
Kasus Silfester Matutina