Isu pengelolaan sampah kerap menimbulkan ketegangan antara pemerintah dan masyarakat. Kasus terbaru terjadi di Kabupaten Pandeglang, Banten, ketika masyarakat menolak kerja sama penampungan sampah dengan Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Tangsel) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bangkonol. Penolakan ini bukan hanya menyangkut persoalan teknis kebersihan, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial, budaya politik, serta cara masyarakat menegosiasikan hak-haknya terhadap kebijakan pemerintah.Â
Akar Penolakan: Antara Kekhawatiran Lingkungan dan Rasa Keadilan
Penolakan masyarakat Pandeglang terutama berakar pada kekhawatiran terhadap dampak lingkungan. TPA Bangkonol selama ini masih menggunakan metode open dumping yang menimbulkan pencemaran air, udara, dan bau tak sedap. Masyarakat khawatir masuknya sampah dari Tangsel akan memperparah kondisi lingkungan hidup yang mereka alami sehari-hari.
Selain itu, terdapat dimensi rasa keadilan. Bagi masyarakat, menerima sampah dari luar daerah dipandang tidak adil ketika sampah lokal saja belum terkelola dengan baik. Dalam budaya politik lokal, keputusan pemerintah dianggap mengabaikan suara masyarakat, sehingga memunculkan simbol perlawanan: warga sampai membuang sampah di depan kantor bupati sebagai bentuk protes. Aksi ini adalah ekspresi kultural cara rakyat kecil menyuarakan keresahan melalui simbol-simbol yang dekat dengan keseharian mereka.
Protes dan Ruang Ekspresi Publik
Penolakan ini juga memperlihatkan bagaimana protes tumbuh dalam masyarakat Pandeglang. Demonstrasi mahasiswa, aksi teatrikal warga, hingga pembakaran ban adalah manifestasi dari cara-cara masyarakat menegosiasikan kepentingannya.
Dalam konteks sosbud, tindakan ini menunjukkan adanya pergeseran budaya politik lokal dari politik pasif ke politik partisipatif. Masyarakat tidak lagi hanya menjadi objek kebijakan, melainkan aktif menjadi subjek yang mempertanyakan keputusan pemerintah. Fenomena ini memperkaya tradisi demokrasi lokal di Banten, yang selama ini kerap dipandang paternalistik.
Simbolisme dan Narasi: "Telah Mati Hati Pemimpin"
Salah satu kutipan yang viral dari aksi tersebut adalah orasi warga: "Innalillahiwainnailaihirojiun... Telah mati hati pemimpin Pandeglang." Kalimat ini bukan sekadar kritik, melainkan simbol kekecewaan mendalam terhadap figur pemimpin yang dianggap mengabaikan suara rakyat.
Secara budaya, penggunaan kalimat religius dalam protes menunjukkan bagaimana masyarakat Pandeglang---yang memiliki basis religius kuat---memadukan nilai keagamaan dengan ekspresi politik. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam ranah sosbud, protes bukan sekadar politik praktis, tetapi juga bagian dari moralitas publik.
Perspektif Pemerintah: Modernisasi dan Kompensasi