Kasus yang menimpa Bupati Pati, Sudewo, menjadi sorotan nasional. Isu kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250%, demonstrasi besar-besaran, proses hak angket DPRD, teguran keras dari Partai Gerindra, hingga pengembalian uang Rp 720 juta terkait kasus dugaan korupsi di Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA), Kemenhub, menciptakan pusaran masalah multidimensi. Situasi ini bukan hanya menjadi persoalan politik lokal, tetapi juga persoalan hukum nasional.Â
Artikel ini akan mengurai persoalan dari dua kacamata: pendapat politik dan pendapat hukum.
I. Pendapat Politik
Krisis Legitimasi di Tingkat Lokal
Keputusan menaikkan PBB hingga 250% telah memicu gelombang penolakan warga. Kebijakan yang dianggap tidak sensitif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat menimbulkan pertanyaan besar mengenai keberpihakan pemimpin daerah. Secara politik, tindakan ini dapat dipandang sebagai krisis legitimasi.Â
Ribuan warga turun ke jalan bukan hanya menolak kebijakan, tetapi juga menyuarakan krisis kepercayaan terhadap kepemimpinan Sudewo. Dalam teori politik, legitimasi bukan hanya lahir dari hasil pemilu, tetapi juga dari penerimaan sosial terhadap kebijakan publik. Ketika masyarakat menolak, legitimasi pemimpin terkikis.
Hak Angket: Instrumen Politik atau Jalan Pemakzulan?Â
DPRD Pati membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki 12 dugaan pelanggaran. Hak angket dalam politik daerah seringkali menjadi instrumen checks and balances. Namun, dalam praktiknya, hak angket juga bisa digunakan sebagai alat tawar-menawar politik.
Pertanyaan pentingnya: apakah hak angket ini akan berakhir pada pemakzulan, atau hanya sebatas tekanan politik agar Bupati tunduk pada kepentingan tertentu? Bila politik lebih dominan, maka hasil pansus akan lebih condong pada kompromi dibandingkan kebenaran substansial.Â
Tekanan Partai PolitikÂ
Partai Gerindra, sebagai pengusung Sudewo, memberi teguran keras. Ini memperlihatkan bahwa partai politik tak ingin reputasinya rusak oleh perilaku kepala daerah yang lahir dari rahimnya.Â