Ada tamparan yang membuat pipi memerah, dan ada tamparan yang membuat nurani membeku.
Yang pertama bisa sembuh dengan waktu. Yang kedua, kalau dibiarkan bisa membuat bangsa ini kehilangan arah, yaitu kehilangan guru sejatinya.
Beberapa hari ini, ramai berita tentang seorang kepala sekolah di Banten yang menampar siswanya. Siswa itu ketahuan merokok. Kepala sekolah menegur. Siswa membantah. Kepala sekolah, dengan emosi yang mungkin meluap, menampar. Dan kini, sang kepala sekolah ditampar balik, bukan oleh tangan, tapi oleh sistem, oleh opini publik, oleh dunia yang sudah kehilangan kompas moralnya.
Anak itu lapor ke orang tua. Orang tua lapor ke polisi. Polisi memeriksa. Gubernur menonaktifkan kepala sekolah. Dan yang ironis, para siswa mendemo, bukan menyesali kesalahan temannya, tapi menuntut kepala sekolah mereka sendiri.
Di sisi lain, netizen ramai-ramai membela sang kepala sekolah.
Ada yang bilang, “Kalau semua siswa seperti itu, tamatlah bangsa ini.”
Ada pula yang saking marahnya, menyerukan agar lulusan sekolah itu di blacklist oleh kampus dan perusahaan.
Kita sedang hidup di zaman yang serba terbalik.
Antara Tamparan dan Didikan
Tamparan itu salah. Kita tidak sedang membenarkan kekerasan. Tapi kita juga tidak boleh buta, dalam banyak kasus, tamparan seorang guru bukan soal kekuasaan, melainkan ekspresi keputusasaan.
Bayangkan guru yang setiap hari menasehati, memperingatkan, menegur, tapi yang dihadapinya adalah generasi yang tumbuh dalam layar lima inci, yang lebih takut kehilangan sinyal daripada kehilangan akhlak.