Yogyakarta sejak lama dikenal sebagai kota sepeda. Identitas itu kini coba dibangkitkan kembali lewat Jogja Last Friday Ride (JLFR), sebuah ajang bersepeda bersama yang digelar setiap Jumat terakhir tiap bulan sejak 2010. Dengan mengusung semangat segosegawe (sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe), JLFR hadir sebagai pesta rakyat yang merayakan kebebasan dan kecintaan pada sepeda.
Dari waktu ke waktu, JLFR berhasil menjadi magnet ribuan pesepeda. Tren ini bukan hanya sekadar hobi, tetapi juga kampanye positif untuk mengurangi polusi, menjaga kesehatan, sekaligus menghidupkan kembali budaya bersepeda yang pernah begitu lekat dengan wajah Jogja. Di tengah maraknya kendaraan bermotor, inisiatif semacam ini tentu layak diapresiasi.
Antara Manfaat dan Masalah
Meski begitu, semakin besar antusiasme masyarakat, semakin kompleks pula dampak yang ditimbulkan. JLFR memang membawa pesan hidup sehat, tetapi juga menghadirkan tantangan baru bagi lalu lintas kota.
Setiap kali digelar pada jumat malam setiap akhir bulan dengan rute melewati jantung kota, kemacetan panjang hampir tidak bisa dihindari. Kondisi ini merugikan banyak pihak, mulai dari ambulans yang harus mendapat prioritas di jalan, layanan ojek online yang terhambat mengantar makanan maupun penumpang, hingga transportasi umum seperti Trans Jogja yang bergantung pada ketepatan waktu.
Masalah lain yang muncul adalah rendahnya disiplin sebagian peserta. Ada yang menerobos lampu merah, tidak menggunakan lampu sepeda, bahkan mengabaikan standar keselamatan seperti helm. Tindakan semacam ini jelas berbahaya, terlebih kegiatan berlangsung pada malam hari ketika risiko kecelakaan meningkat.
Perspektif Hukum
Persoalan ini sesungguhnya sudah diatur dalam Pasal 105 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menyatakan:
"Setiap orang yang menggunakan jalan wajib:Â
a) berperilaku tertib; dan/atauÂ