Mohon tunggu...
Ariqah Mutiara
Ariqah Mutiara Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Program Studi Administrasi Publik, Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dari Jalanan ke Linimasa: Peran Media Sosial dalam Tuntutan 17+8 September dan Tantangan Governansi Publik

8 Oktober 2025   06:37 Diperbarui: 8 Oktober 2025   06:37 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada akhir Agustus 2025, Indonesia dipenuhi oleh aksi demonstrasi besar yang menyebar di berbagai kota sebagai bentuk kekecewaan dan kemarahan masyarakat terhadap kebijakan serta peristiwa yang dianggap mencerminkan jauhnya pemerintah dari kepentingan rakyat. Akar kekecewaan ini bermula dari kontroversi kenaikan tunjangan dan fasilitas anggota DPR di tengah meningkatnya beban ekonomi rakyat, yang dianggap tidak peka terhadap kondisi masyarakatnya. Situasi semakin memanas ketika terjadi kekerasan dalam aksi massa hingga menewaskan seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan, yang kemudian menjadi simbol ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan. Dari titik inilah, protes yang awalnya terpisah-pisah berubah menjadi gerakan besar dengan satu suara yang menuntut perubahan nyata. Gerakan ini dikenal sebagai "Tuntutan 17+8 September" yang mencerminkan keresahan mendalam terhadap lemahnya tata kelola pemerintahan, mulai dari kurangnya transparansi, rendahnya akuntabilitas pejabat publik, serta tertutupnya ruang partisipasi masyarakat dalam sebuah kebijakan. Lebih dari sekadar aksi di jalanan, pergerakkan ini menunjukkan bahwa masyarakat saat ini berani bersuara dan menuntut pemerintahan untuk jauh lebih transparan, jujur, dan berpihak pada kepentingan rakyatnya.

Media Sosial sebagai Ruang Publik Alternatif

Aksi yang dulu hanya berlangsung di jalan kini menemukan bentuk barunya di dunia digital, menjadikan media sosial sebagai ruang publik alternatif untuk masyarakat menyampaikan aspirasi, membangun solidaritas, dan mendorong perubahan secara lebih terbuka. Melalui unggahan video, infografis, dan narasi yang beredar di platform seperti Twitter/X, Instagram, dan TikTok, kemarahan publik menyebar luas dan berubah menjadi gerakan bersama. Beragam kelompok mulai dari mahasiswa, jurnalis independen, dan influencer memanfaatkan linimasa digital untuk menyatukan suara, mengubah keluhan terpisah menjadi agenda politik bersama. Terdiri dari 17 tuntutan jangka pendek dengan tenggat hingga 5 September 2025, serta 8 tuntutan jangka panjang yang direncanakan sampai Agustus 2026. Tuntutan ini menjadi wujud nyata dari aspirasi masyarakat yang ingin menekan lembaga institusi negara agar mendengar dan menindaklanjuti tuntutan mereka tersebut secara konkret.

Puncak dari gerakan ini terjadi pada 4-5 September 2025, ketika perwakilan mahasiswa, aktivis, dan tokoh masyarakat menyerahkan langsung berkas Tuntutan 17+8 September ke Gedung DPR RI. Aksi tersebut menjadi simbol penting bahwa gerakan ini bukan sekadar ramai di media sosial, melainkan bentuk nyata dari keinginan rakyat agar aspirasi mereka direspons secara institusional. Kehadiran public figure/influencer dalam penyerahan tuntutan juga menarik perhatian media massa, memperbesar tekanan opini publik, dan menegaskan keseriusan rakyat dalam menuntut perubahan. Melalui langkah ini, masyarakat memberikan batas waktu yang jelas agar pemerintah dan parlemen menunjukkan kemauan politik untuk memperbaiki tata kelola negara. Namun, respons yang muncul dari lembaga negara bersifat setengah hati. Beberapa kebijakan memang segera disesuaikan, seperti evaluasi fasilitas DPR dan penundaan sebagian tunjangan, tetapi langkah tersebut lebih bersifat simbolis untuk meredam situasi ketimbang menyelesaikan akar persoalan. Sementara itu, tuntutan yang lebih mendasar seperti reformasi hukum, penegakan akuntabilitas pejabat publik, dan pembukaan ruang partisipasi rakyat masih belum tersentuh secara serius. Kondisi ini memperlihatkan dilema governansi publik di Indonesia, dimana pemerintah cepat bereaksi terhadap tekanan politik sesaat, tetapi lambat melakukan pembenahan struktural yang menyentuh transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik secara berkelanjutan.

Tantangan Media Sosial terhadap Governansi Publik

Dari sini terlihat bahwa media sosial membawa tantangan baru bagi governansi publik. Di satu sisi, media sosial dapat membuka ruang partisipasi masyarakat yang lebih luas dan memungkinkan pengawasan terhadap pemerintah berjalan lebih terbuka. Namun di sisi lain, perkembangan di dunia digital sering kali bergerak lebih cepat daripada kemampuan birokrasi meresponsnya. Arus informasi yang masif, emosi yang mudah viral, serta munculnya hoaks dan disinformasi di media sosial dapat menciptakan tekanan besar dari masyarakat, tetapi belum tentu menghasilkan kebijakan yang matang dan berkelanjutan. Akibatnya, banyak tuntutan publik di media sosial hanya berhenti sebagai isu viral semata, tanpa benar-benar terwujud dalam bentuk kebijakan yang nyata. Pemerintah dihadapkan pada tantangan untuk menyeimbangkan antara kecepatan merespons aspirasi masyarakat dan penyusunan kebijakan yang berbasis data serta berorientasi jangka panjang. Tanpa kemampuan komunikasi publik yang kuat, negara berisiko terjebak dalam siklus merespons tekanan linimasa tanpa memperkuat tata kelola pemerintahan yang lebih substantif.

Peluang Reformasi melalui Sinergi Media Sosial dan Governansi Publik

Namun di balik tantangan itu, media sosial juga menawarkan peluang besar bagi reformasi governansi publik. Platform digital dapat dijadikan sarana efektif untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik secara nyata. Pemerintah dapat memanfaatkan media sosial sebagai media komunikasi dua arah yang terbuka dan dialogis. Begitu pula masyarakat sipil, dapat menggunakan ruang digital untuk mengawal, memantau, dan memberi masukan terhadap proses pengambilan keputusan. Dengan membangun sinergi ini, media sosial bukan lagi sekadar ruang protes, tetapi menjadi bagian dari tatanan pemerintahan, di mana negara dan masyarakat bergerak bersama membangun kepercayaan dan memperkuat legitimasi demokrasi.

Rekomendasi

Untuk membangun governansi publik yang responsif dan digital, ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan:

  1. Penguatan media komunikasi digital resmi pemerintah, dengan memastikan informasi publik mudah diakses, berbasis data, dan disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat.
  2. Peningkatan literasi digital aparatur negara, agar mereka mampu memahami dinamika opini publik secara digital dan mengelola komunikasi kebijakan secara adaptif tanpa terjebak dalam reaksi emosional.
  3. Penciptaan ruang partisipasi digital yang aman dan inklusif, seperti forum daring resmi untuk konsultasi kebijakan, survei publik, serta sistem pelaporan digital yang transparan.
  4. Kolaborasi dengan masyarakat sipil untuk menciptakan bentuk keterlibatan publik yang dibangun bersama, bukan sekadar komunikasi satu arah.
  5. Mmenafaatkan media sosial dalam sistem evaluasi kebijakan, dengan menjadi dialog publik sebagai bahan analisis untuk perbaikan tata kelola dan pengambilan keputusan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun