Mohon tunggu...
Arip Senjaya
Arip Senjaya Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, pengarang, peneliti

Pengarang buku, esai, dan karya sastra

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pesta Seni

24 Agustus 2022   10:02 Diperbarui: 24 Agustus 2022   10:05 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Puisi selama ini berbait-bait dan seniman yang memberi bobot pada dirinya membuat puisi berparagraf-paragraf, atau menolak kata-kata dan hanya menampilkan huruf-huruf tanpa maka, bahkan ada pula yang hanya kotak-kotak. Dalam hal ini seni muncul bukan dari karya, tetapi dari penolakan terhadap kelompoknya. Paradoksnya adalah seniman atau pemirsa tetap saja ingin memberi karyanya itu "dunia kelompok" sehingga paragraf-paragraf Afrizal Malna, "Kotak Sembilan" Danarto, deretan huruf "V" Jeihan Sukmantoro disebut juga puisi.

Dengan demikian paradoks penolakkan kelompok bagian dari karya kelompok tersebut dan seniman yang berlari dari kecenderungan kelompoknya sebenarnya sedang menguatkan (revitalisasi) kelompoknya juga. Tanpa seniman-seniman macam ini, setiap kelompok karya terancam kepunahan, bukan punah karena tidak dibuat lagi, tetapi karena pengulangan demi pengulangan. Maka mungkin seniman yang seumur hidupnya bertahan dengan gaya yang sama dapat dikatakan berkarya dalam kepunahan dinamika, dan hal ini pula yang jadi dasar dari konsep "seni tradisi". Karya-karya yang ada dalam dinamika penolakkan disebut karya kontemporer, yakni karya yang menolak kepunahan, menolak tradisi.

3. Perantara, kematian, dan sebaiknya kita pesta

Ia yang memperantarai seniman dan karyanya disebut seni, dan ia tidak diciptakan seniman atau karya itu secara otonom dan dalam otonomi masing-masing, melainkan hasil kerja serempak keduanya. Otonomi teks yang jadi gerakan ilmiah kajian seni memutuskan seniman, membunuhnya, dan menghidupkan karya dari kerja objektif mata pemirsa.

Kematian seniman adalah bangkitnya karya dalam kemandirian struktur, dan hal ini tentu agak omong-kosong, bagaimana bisa karya bekerja sendiri membangun makna-makna tertentu. Yang sebenarnya terjadi adalah pemirsa merebut kursi kekuasan seniman dan dialah yang menjadi seniman selanjutnya, berhak sepenuhnya omong-omong tentang karya dengan modal membaca relasi unsur-unsur pembangun teks.

Dalam kerja ilmiah otonomi teks macam itu seni tidak lagi menjadi perantara seniman dan karyanya, melainkan pemirsa (yang berubah bulu jadi pengkaji) memerantarai karya dan makna melalui sudut pandang yang dipilih dirinya. Pemilihan sudut pandang selalu mengandung unsur pemilihan kelompok ilmiah. Menempatkan diri sebagai pemirsa objektif pun sudah merupakan kerja berpihak atas otonomi teks itu sendiri, otomatis, sehingga kebebasan akademik yang melekat pada nilai objektif pada dasarnya adalah tentang ketidakbebasan. Tidak ada kebebasan dalam keberpihakan.

Apabila kebenaran dilandaskan pada relasi unsur-unsur dalam bangun struktur karya dan seniman dikuburkan, yang jadi pihak ketiga berikutnya bukan lagi seni dalam arti rasa, tetapi seni dalam arti deskripsi relasi. Karya disusul oleh penjelasan terhadap karya, bukan bagaimana rasa pemirsa bekerja.

Mungkin para ahli bidang otonomi teks dapat berdalih bahwa pada dasarnya rasa memang dapat dijelaskan atau harus dijelaskan. Yang jadi pertanyaan adalah: kalau sebuah karya tidak dapat dijelaskan dan untuk dinikmati belaka seperti alunan musik atau lukisan abstrak adakah sebuah karya itu tidak lagi bernilai seni?

Sesuatu yang disebut seni ada dalam sebuah alam lain yang membutuhkan kerja serempak seniman-karya-pemirsa untuk merasakan kehadirannya yang bukan mereka. Munculnya otonomi teks dengan demikian adalah momen memasuki "pesta seni" (istilah Heidegger) yang sebermula menjadi pihak ketiga di antara seniman dan karyanya, kini turut dimeriahkan oleh hadirnya pemirsa yang aktif bekerja atas rasa. Aneh benar jika otonomi teks itu mematikan seniman sedangkan pemirsa sendiri menginginkan kehidupan. Mengapa tidak hidup bersama dan pesta untuk pihak ketiga itu.

Dan kita memang tak usah khawatir, kini seniman dapat omong-omong tentang karya yang dipamerkannya bla-bla-bla, lalu disusul oleh penjelasan-penjelasan kurator bla-bla-bla, disusul oleh pendapat kritikus di media bla-bla-bla, disusul oleh seminar bla-bla-bla, disusul oleh gosip bla-bla-bla, disusul oleh isu perdagangan seni bla-bla-bla, disusul oleh skripsi bla-bla-bla. Riuh. Pesta. Lalu musim berganti dan zaman akan berganti lagi. Pesta-pesta berikutnya tak terbayang macam apa.

Tapi pernahkah seni jadi pihak kesatu atau kedua yang berbicara atas dirinya sendiri? Ia tak pernah hadir, ia masih sebagai pihak ketiga yang selamanya tak datang dalam undangan pameran, festival, lomba, dan apa saja yang mengatasnamakannya. Kita akan menyebut-nyebutnya dan dia tidak mendengarnya. Seni rupanya terlalu agung dan tak pernah ada tempat terbaik untuknya. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun