Mohon tunggu...
Arip Imawan
Arip Imawan Mohon Tunggu... Pengacara - Arip seorang Lawyer, Blogger, Traveler

semakin bertambah ilmuku maka semakin terlihatlah kebodohanku

Selanjutnya

Tutup

Politik

Penguasa, Cerminan dari Rakyatnya

18 November 2017   10:45 Diperbarui: 18 November 2017   11:28 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari ini nitizen heboh, medsos ramai, bahkan grup - grup WA  pun tak luput dari bahasan soal tiang listrik yang ditabrak Fortuner yang dikendarai dikendarai anggota dewan yang juga ketua parpol yang lagi naik daun. bahkan ada meme lucu gokil yang membuat saya ketawa sendirian, oh... Indonesiaku sudah menjadi negeri yang lucu, itu yang saya rasakan.

Sudah lama saya vakum menulis karena kesibukan, namun membaca di medsos  dan kiriman - kiriman di grup - grup WA tergelitik dan tergugah juga saya untuk ikut - ikutan nulis di kompasiana he.. he...

Sebenarnya apa  yang terjadi dan mengapa kita sering membicarakan kelucuan, keanehan,  hingga kejelekan pada elit - elit politik,baik DPR hingga Eksekutifnya,  dari Presiden hingga tingkat RT sekalipun, namun kita melupakan  kelucuan, keanehan dan kejelekan diri sendiri? Mengapa kita selalu  mencela mereka, dan tak pernah mencela berbagai kelucuan, keanehan  hingga kejelekan diri kita? Ini yang harus kita renungkan.

Saya  teringat sewaktu taklim, Murobi saya mengisahkan ketika Khalifah Ali bin  Abi Thalib pernah ditanya oleh seseorang, "Mengapa saat Abu Bakar dan  Umar menjabat sebagai khalifah kondisinya tertib, namun saat Utsman dan  engkau yang menjadi khalifah kondisinya kacau? Jawab Ali "Karena saat  Abu Bakar dan Umar menjadi khalifah, mereka didukung oleh orang-orang  seperti aku dan Utsman, namun saat Utsman dan aku yang menjadi khalifah,  pendukungnya adalah kamu dan orang-orang sepertimu"

Jika merujuk  pada kisah diskusi Kholifah Ali bin Abi Thalib tersebut, kita jadi  tersadar ketika penguasa seenaknya mengeruk kekayaan negara dan memenjarakan rakyat tak berdosa, penyebabnya adalah dosa rakyat yang  melalaikan kewajiban dan tenggelam dalam maksiat. Demikian pula ketika rakyat memberontak dan menjatuhkan si penguasa, itupun akibat kesalahan  yang jauh dari tuntunan agama, memisahkan agama dengan politik, loyal dengan asing, tenggelam dengan gemerlap jabatan, harta dan wanita hingga  menelantarkan rakyatnya. 

Coba kita perhatikan kondisi  masyarakat sekarang, kebetulan saya mengalaminya sendiri, baik ketika  saya jadi tim advokasi pilpres dan pilkada, dan bahkan saya ikut  pilkades, ketika masyarakat ditanya, nanti milih siapa ? ada yang jawab  "siapa yang kasih uang banyak ya tak coblos", itulah faktanya. 

Memilih pemimpin bukan lagi merujuk pada kriteria bagaimana track  recordnya, dapat menjadi teladan, memiliki kompetensi dibidangnya, bisa dipercaya, dan tahu arah tujuannya berupa visi misinya. Namun masyarakat  sudah mendholimi dirinya sendiri, mereka tak ambil pusing dengan track record, keteladanan maupun kompetensi dalam mengelola pemerintahan,  mereka rela harga dirinya diperjual belikan demi mendapatkan uang yang merupakan kenikmatan sesaat. 

Jika sudah demikian, tunggulah  kehancuran, jangan heran jika adanya penguasa yang dhalim merupakan  hukuman yang ditimpakan Allah bagi kaum yang dhalim pula, dikarenakan  dosa-dosa yang kita lakukan.  "Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian  orang-orang yang dhalim itu menjadi penguasa bagi sebahagian yang lain  disebabkan apa yang mereka usahakan." (QS. Al An'am: 129).

Syaikh  Abul Walid Ath Thurthusyi berkata, "Jika engkau berkata bahwa para  pemimpin di zaman ini tidak sama dengan para pemimpin di zaman dahulu,  maka rakyat di zaman ini pun tidak sama dengan rakyat di zaman dahulu.  Jika engkau mencela pemimpinmu bila dibandingkan dengan pemimpin dahulu  maka pemimpinmu pun berhak mencelamu bila dibandingkan dengan rakyat  dahulu. 

Saya kutip sebuah atsar dari Abu Ishaq As Sabi'iy, salah  seorang ulama tabiin "kama takunu, yuwalla 'alaikum (sebagaimana  kalian, demikian pula pemimpin kalian)" 

Kesimpulannya, jika  ingin menyalahkan, menjelekkan, bahkan membully penguasa, maka diri  kitalah yang lebih dahulu harus instropeksi diri. Karena penguasa adalah  cerminan dari rakyatnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun