Berdirinya Kementerian Kebudayaan sebagai entitas mandiri patut disambut dengan rasa syukur. Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern Indonesia, kebudayaan tidak lagi sekadar pelengkap pariwisata atau ekonomi kreatif, tetapi berdiri di panggung sendiri—dengan mandat mulia: mengembalikan kebudayaan sebagai sumber nilai, bukan semata sumber cuan.
Salah satu langkah strategis yang patut diapresiasi ialah pengelolaan Dana Abadi Kebudayaan melalui program Dana Indonesiana yang bekerja sama dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Program ini diharapkan menjadi sumber daya berkelanjutan bagi para pelaku kebudayaan: seniman, peneliti, lembaga komunitas, dan masyarakat adat di seluruh Indonesia. Namun di lapangan, idealisme itu masih menghadapi sejumlah tantangan dalam pelaksanaannya.
Tidak semua pelaku budaya memahami mekanisme Dana Indonesiana, dan sebaliknya, belum semua pengelola memahami konteks sosial dan emosional dunia kebudayaan. Padahal, program ini sejatinya adalah jembatan antara kebijakan negara dan kerja-kerja budaya di akar rumput—wilayah yang menuntut bukan hanya ketepatan administratif, tetapi juga kepekaan etik dan sosial.
Dalam pelaksanaan program itu, pernah terjadi kasus di mana sejumlah pelaku budaya mendapati akses mereka dibatasi tanpa penjelasan yang jelas. Beberapa bahkan harus menunggu bertahun-tahun untuk kembali memperoleh haknya. Bagi birokrasi, mungkin ini sekadar urusan administrasi. Namun bagi pelaku budaya, hal semacam itu meninggalkan luka yang halus—perasaan tidak dipercaya oleh negara yang selama ini mereka bantu jaga nilai-nilainya.
Pelaku kebudayaan di daerah tidak bekerja untuk kementerian; mereka bekerja untuk kehidupan kebudayaan itu sendiri—untuk masyarakat, untuk ruang-ruang kecil tempat nilai dan ekspresi hidup. Karena itu, hubungan antara pelaku dan pengelola program seharusnya dibangun di atas kepercayaan yang sehat, bukan semata laporan dan formulir. Tanpa kepercayaan, kebudayaan akan berubah menjadi proyek, bukan peradaban.
Tentu, pengelolaan dana publik menuntut akuntabilitas. Namun akuntabilitas sejati tidak boleh mengorbankan rasa hormat. Ketika keputusan, pemotongan anggaran, atau perubahan kebijakan dilakukan tanpa komunikasi terbuka, para pelaku budaya mudah merasa dijauhkan. Mereka bukan penerima bantuan, melainkan mitra dalam menjaga warisan bangsa.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan menegaskan bahwa masyarakat adalah penggerak utama pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan. Karena itu, tata kelola kebudayaan tidak boleh berhenti pada ketepatan prosedural. Ia harus hidup dalam semangat partisipasi dan dialog yang setara.
Laporan Kompas (Desember 2024) mencatat, banyak pemerintah daerah masih memaknai kebudayaan sebatas festival atau proyek ekonomi. Padahal, kebudayaan adalah fondasi peradaban—tempat martabat, integritas, dan karakter bangsa dibangun. Jika semangat serupa tidak dijaga di tingkat nasional, kita berisiko melahirkan tata kelola yang efisien di atas kertas, tetapi miskin empati dan arah.
Birokrasi kebudayaan tidak boleh kaku seperti beton. Ia harus lentur, manusiawi, dan terbuka terhadap koreksi. Pengawasan boleh ketat, tetapi komunikasi harus hangat. Evaluasi boleh objektif, tetapi tetap empatik. Negara tidak sedang "memberi" dana kepada pelaku budaya; negara sedang menunaikan kewajiban moral terhadap sejarah dan peradaban yang dibangun rakyatnya sendiri.
Kritik terhadap tata kelola kebudayaan bukanlah bentuk perlawanan, melainkan upaya menjaga keutuhan nilai. Kebanggaan atas berdirinya Kementerian Kebudayaan akan bermakna bila diikuti perubahan paradigma: dari proyek menuju peradaban, dari prosedur menuju kepercayaan. Karena kebudayaan, pada akhirnya, bukan tentang laporan kegiatan—melainkan tentang manusia dan nilai yang dijaganya bersama negara.