Mohon tunggu...
Ari J. Palawi
Ari J. Palawi Mohon Tunggu... Petani Seni dan Akademisi

The Sonic Bridge Between Tradition and Innovation

Selanjutnya

Tutup

Medan

Dari Pulau Diperebutkan Menuju Kolaborasi Budaya Aceh-Sumatra Utara

11 Juni 2025   21:32 Diperbarui: 12 Juni 2025   07:49 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapal Nelayan "Urang Pulo" (2014)

Ketika pemerintah pusat menetapkan empat pulau yang awalnya berada di Aceh masuk ke wilayah Sumatera Utara, ketegangan pun muncul. Isu administratif ini menjadi ramai diperbincangkan, padahal sebenarnya masyarakat Aceh dan Sumut telah lama saling terkait melalui sejarah, budaya, dan kehidupan bersama. Pandangan sempit soal batas wilayah hanya dapat menimbulkan konflik yang sesungguhnya dapat dihindari. Sebaliknya, pola pikir bersama yang menempatkan nilai budaya dan jalinan antarmasyarakat di atas garis bujur dan lintang bisa membuka jalan kolaborasi. Tulisan ini mengajak pembaca melihat Aceh dan Sumatera Utara bukan sekadar melalui peta administratif, melainkan sebagai simpul "hulu-hilir" kebudayaan yang kaya dan beragam.

Aceh sebagai Hulu, Medan-Sumut sebagai Hilir Peradaban

Aceh kerap disebut sebagai hulu peradaban Islam di Asia Tenggara. Sejarah panjang Aceh menunjukan bahwa dari pelabuhan-pelabuhannya lah bukan hanya lada dan rempah melaut, tetapi juga naskah hikmah dan pemikiran ulama yang tersebar ke seantero Nusantara. Palawi (2025) menggarisbawahi, Aceh "adalah satu denyut nadi besar peradaban Islam di Asia Tenggara" yang memancarkan ilmu, nilai, dan semangat kemerdekaan. Artinya, tradisi Aceh selama berabad-abad membentuk jalan pandang kebudayaan: dari adat dan bahasa, hingga cara bersengketa dan berdoa. Jika Aceh menapak masa depan dengan memuliakan "nilai-nilai yang telah lama hidup" di masyarakatnya, maka ia bukan hanya akan selamat, tapi "kembali menyala, menjadi cahaya hulu... bagi mereka yang mencari arah di ujung dunia".

Di sisi lain, Medan—ibu kota Sumatera Utara—berfungsi sebagai hilir budaya Sumatra. Kota ini menyimpan mozaik keberagaman yang mengagumkan: dalam satu perkotaan, bertemu Batak Toba, Karo, Mandailing, Melayu, Minangkabau, Aceh, Tionghoa, Jawa, Bugis, Arab, dan puluhan etnik lainnya. Medan digambarkan sebagai "simpul peradaban Sumatra" di mana modernitas dan ingatan tradisi bertemu. Di kota ini, nilai-nilai dari "hulu" Sumatra—dari ritus adat pegunungan sampai senandung pesisir—berinteraksi dan saling membentuk kehidupan urban. Misalnya, musik tradisional Aceh seperti rapa'i, maupun pantun Melayu dan gondang Batak, kerap mengalir berdampingan di ruang publik. Data resmi mencatat penduduk Medan sekitar 30% beretnis Batak dan 15% Melayu, serta puluhan persen etnik Jawa-Sunda, Aceh, dan lainnya. Keberagaman inilah yang bisa menjadi aset besar: ketika Medan dan Sumut menumbuhkan lingkungan inklusif, kota maupun provinsi ini dapat menjadi contoh bahwa pembangunan tidak sekadar fisik, tapi juga soal memuliakan nilai.

Polemik Empat Pulau: Pelajaran dari Konflik

Empat pulau (Lipan, Panjang, Mangkir Besar, Mangkir Kecil) awalnya berada di wilayah Kabupaten Aceh Singkil, namun oleh Kemendagri ditetapkan masuk wilayah Tapanuli Tengah, Sumut, lewat keputusan April 2025. Keputusan itu menimbulkan beragam respons. Pemerintah Aceh menyatakan akan meninjau kembali keputusan tersebut, dengan alasan fakta sejarah dan peta lama yang menyebut pulau-pulau itu bagian Aceh. Sementara itu, Gubernur Sumut Bobby Nasution menegaskan pulau tersebut "tidak direbut" pihaknya, tetapi hasil tata batas administrasi pusat, dan menyerukan agar potensi pulau dikelola bersama oleh Sumut dan Aceh.

Penting dicatat, pulau-pulau itu belum berpenghuni dan selama ini hanya disinggahi nelayan dari kedua provinsi. Hal ini justru menegaskan betapa rakyat pesisir Aceh dan Sumut saling terkait dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana diingatkan Bupati Tapanuli Tengah, dalam pertemuan musyawarah kemarin (silaturahmi), kita semua "sama-sama anak-anak Republik" dan tidak ingin pertikaian berkepanjangan. Konflik administratif semacam ini, jika terus diperdebatkan tanpa makna, hanya akan menimbulkan kebekuan hubungan. Sebaliknya, fokus pengelolaan bersama potensi daerah menjadi lebih produktif. Bobby bahkan menyatakan keterbukaan untuk berdialog dan menekankan kolaborasi, alih-alih mempertanyakan siapa pemiliknya.

Polemik batas Aceh-Sumut ini mengingatkan perlunya koordinasi lintas wilayah: tak hanya dalam konteks pulau, tetapi juga dalam memajukan kebudayaan. Aceh dan Sumut memiliki kesempatan untuk mengubah isu kewilayahan menjadi peluang sinergi, misalnya lewat forum koordinasi, pertukaran budaya, dan kebijakan adat bersama. Konflik semacam ini sebetulnya bisa dihindari jika sudah ada visi bersama untuk merawat nilai budaya dan memperkuat jalinan antarmasyarakat—bukan sekadar mengabaikan perbedaan di balik garis perbatasan administratif.

Membangun Sinergi Budaya ke Depan

Dalam kerangka jalan tengah pembangunan inklusif, Aceh dan Sumut dapat mengambil langkah konkret bersama. Beberapa rekomendasi strategis, terinspirasi dari kajian pembangunan budaya lokal, antara lain:

  • Mengintegrasikan Pendidikan Budaya Lokal: Menyusun modul pembelajaran antro-musik dari SD hingga SMA yang memasukkan pantun, hikayat, musik tradisi, dan nilai-nilai lokal ke dalam kurikulum. Misalnya, anak-anak mempelajari pantun Melayu atau gong Batak dalam pelajaran bahasa, dan rapa'i Aceh atau gondang sebagai bagian pendidikan karakter. Dengan demikian, generasi muda dari Aceh dan Sumut sama-sama menghayati warisan budaya bersama sejak dini.
  • Ruang Publik Penuh Budaya: Mendirikan Taman Budaya Komunitas di setiap kabupaten/kota, bukan sekadar ruang hijau biasa, melainkan panggung rakyat terbuka untuk pertunjukan seni dan budaya mingguan. Fasilitas sederhana seperti panggung terbuka, sound system komunitas, dan ruang ganti dapat menghidupkan interaksi antargenerasi. Taman ini menjadi tempat anak-anak belajar menari Zapin, remaja menampilkan gitar lagu-lagu daerah, dan warga saling bertukar cerita rakyat dari kedua belah pihak. Konsep serupa dapat dijalankan di Banda Aceh, Medan, maupun daerah penyangga, sehingga budaya lokal "naik ke permukaan" dari desa hingga kota.
  • Festival Rakyat Multi-etnik: Menyelenggarakan festival tahunan lintas-provinsi yang menampilkan musik, tarian, kuliner, dan kerajinan Aceh-Sumut secara bergilir. Alih-alih kompetisi, festival ini bertujuan kolaboratif: misalnya pawai musik tradisi dari Aceh dan Medan bersama-sama, bazar makanan etnis Aceh dan Melayu, dialog budaya di forum terbuka. Dengan melibatkan elemen desa dan kota Aceh serta Sumut, festival ini menjadi ruang penghormatan dan pembelajaran publik, sekaligus promosi budaya adil tanpa dominasi satu pihak.
  • Dana Kebudayaan Bersama (Matching Fund): Pemerintah provinsi dapat membentuk dana khusus kolaboratif untuk pembiayaan kegiatan budaya berbasis matching. Dana ini memadukan alokasi APBD Aceh-Sumut, CSR perusahaan, dan inisiatif masyarakat. Tujuannya memberi kebebasan bagi komunitas adat dan sanggar budaya merancang program sesuai kebutuhan lokal. Contohnya revitalisasi rumah adat tradisional Aceh bersama Masyarakat Adat, penerbitan koleksi hikayat daerah dalam bahasa asli, atau program pertukaran kesenian antarwilayah. Skema ini menekankan keadilan kultural: bukan sekadar alokasi anggaran biasa, tapi membuka kesempatan berbagai suara berpartisipasi merumuskan masa depan kebudayaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Medan Selengkapnya
Lihat Medan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun