"Kalau nggak masuk teknik atau kedokteran, berarti gagal atau kurang pintar."
Kalimat seperti ini sering kita dengar, baik di rumah, sekolah, bahkan dalam diskusi serius. Ini bukan sekadar stereotip, tapi kenyataan yang membentuk cara pandang kita tentang masa depan. Banyak mahasiswa seni yang memulai kuliah bukan dengan rasa bangga, tetapi dengan pertanyaan yang menyakitkan: "Kenapa nggak ambil jurusan yang lebih menjanjikan?"
Di balik cinta mereka pada musik, seni rupa, tarian, atau teater, ada perjuangan batin melawan stigma yang masih melekat. Banyak orang menganggap seni cuma pelarian dari kenyataan. Padahal, melalui seni, dunia ini bisa jadi lebih hidup, lebih manusiawi, dan penuh makna.
Seni vs STEM di Mata Banyak Orang
Di dunia yang makin fokus pada STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika), seni sering dipandang sebelah mata. Banyak yang berpikir seni itu kurang menjanjikan atau terlalu santai dibandingkan dengan jurusan yang "lebih serius". Ini juga yang memengaruhi dukungan terhadap pendidikan seni, yang kerap dianggap kurang penting.
Padahal, seni bukan cuma ruang pelarian. Seni adalah ruang untuk berpikir kreatif, merasakan hal-hal yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, dan membangun imajinasi yang bermanfaat untuk banyak hal. Semua ide inovatif di dunia, seperti: desain produk yang fungsional dan aplikasi yang ramah pengguna, berasal dari seni. Lulusan seni bukan cuma pelukis atau musisi, mereka adalah pembuat pengalaman, pencipta inovasi, dan penggerak perubahan.
Seni dalam Konteks Ekonomi dan Sosial
Sektor ekonomi kreatif Indonesia, menurut laporan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 2022, menyumbang lebih dari 7,8% PDB negara kita. Seni bukan hanya tentang pertunjukan, tetapi juga tentang kontribusi nyata dalam ekonomi, pendidikan, bahkan politik. Lulusan seni, dengan kreativitas mereka, bukan beban pembangunan, melainkan bagian penting dari perekonomian masa depan yang berbasis ide dan estetika.
Seni juga sangat berguna dalam pemulihan pascabencana. Di Palu dan Lombok, misalnya, seni membantu menyembuhkan trauma warga dengan lokakarya teater, musik, dan seni rupa. Seni memang bisa merawat luka sosial, menguatkan rasa aman, dan mempererat hubungan antarwarga.
Literasi Seni untuk Semua
Kita perlu lebih banyak memahami seni bukan hanya sebagai hobi atau bakat, tetapi sebagai ruang untuk berpikir, bekerja, dan memberi kontribusi positif. Media harus lebih sering menampilkan kisah-kisah inspiratif dari lulusan seni yang telah berperan besar di bidang ekonomi, teknologi, hingga politik.
Dunia pendidikan juga harus menghapus pandangan yang menempatkan seni sebagai bidang "kurang penting" dibandingkan ilmu eksakta. Seni dan ilmu eksakta bukanlah dua hal yang terpisah, tapi dua sisi yang saling melengkapi. Kita juga perlu tokoh publik yang menunjukkan bahwa menghargai seni adalah bagian dari tanggung jawab sosial.
Contoh-contoh nyata ada di sekitar kita. Kamila Andini, sutradara perempuan Indonesia, menggunakan film untuk menyuarakan isu gender dan tradisi. Butet Kartaredjasa, yang berlatar belakang seni rupa, menggunakan teater sebagai sarana demokrasi dan kritik sosial. Bahkan Didi Kempot, dengan lagu-lagunya, mengangkat bahasa daerah dan mengubah kesedihan menjadi kekuatan bersama. Mereka membuktikan bahwa seni punya kekuatan untuk mengubah dunia.
Di luar negeri, Steve Jobs, pendiri Apple, mengakui bahwa kelas kaligrafi yang diikutinya menginspirasi desain tipografi komputer modern. Angela Merkel, mantan Kanselir Jerman, juga mencintai opera dan percaya bahwa musik mengajarkan kita untuk mendengarkan perbedaan dan memahami tanggung jawab sosial.
Seni Sebagai Fondasi Masa Depan
Kami tidak sedang meremehkan pentingnya STEM. Tetapi kita harus ingat bahwa seni juga merupakan bagian dari pembangunan yang tak bisa dipisahkan. Masa depan yang berkelanjutan butuh lebih dari sekadar teknolog. Kita membutuhkan empati, kreativitas, dan nilai-nilai kemanusiaan yang semuanya bisa dipelajari lewat seni.
Di Indonesia, seni adalah bagian dari kebudayaan yang harus dijaga dan dilestarikan. Melalui Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, kita menempatkan seni sebagai salah satu sumber daya penting untuk pembangunan negara. Seni adalah cara kita bernegosiasi dengan identitas, etika, dan tantangan global yang semakin kompleks.
Seni Indonesia juga makin diakui di dunia. Mulai dari batik dan gamelan yang menjadi warisan dunia, hingga film dan seni rupa kontemporer yang masuk festival internasional. Tapi, potensi ini tak akan berkembang tanpa ekosistem yang adil dan mendukung.
Kini saatnya kita memberikan penghargaan lebih kepada dosen dan mahasiswa seni—pendidik dan pembelajar seni—baik formal, informal, dan non formal. Bukan hanya karena mereka "juga pintar", tapi karena mereka adalah sumber inspirasi yang mampu mengubah dunia dengan keindahan.
Seni bukan hanya pelengkap masa depan. Ia adalah fondasi yang menjaga kita tetap manusiawi di tengah kecepatan zaman. Di tengah krisis makna, seni memberi arah moral. Di tengah disrupsi, seni membangun ketahanan. Dan di tengah perbedaan, seni menjadi bahasa yang merangkul keberagaman.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI