Mohon tunggu...
Ari J. Palawi
Ari J. Palawi Mohon Tunggu... Petani Seni dan Akademisi

The Sonic Bridge Between Tradition and Innovation

Selanjutnya

Tutup

Medan

Medan Kota Hilir: Semai Masa Depan dalam Akar Peradaban Sumatra

24 Mei 2025   17:07 Diperbarui: 8 Juli 2025   20:29 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak ada kota besar yang benar-benar hidup, jika kita tidak mengenali akar pertumbuhannya. Kota Medan, seluas tanahnya, berlapis sejarah yang tumbuh dari kearifan leluhur penetap terdahulu. Dari masyarakat Karo yang membuka tapak awalnya, kemudian Melayu Deli yang memayungi pertumbuhan kota dengan adab dan ketelatenan budaya luhur. Dari mereka yang menjaga tanah, sungai, dan adat, lahirlah Medan. Ruang hidup bersama yang terus berkembang hingga hari ini.

Medan kini dikenal sebagai pusat bisnis, pendidikan, dan mobilitas sosial di Sumatera Utara. Tapi sejatinya, ia lebih dari sekadar kota. Ia adalah simpul sejarah dan pertemuan. Tempat arus budaya hulu-hulu peradaban Sumatra berjumpa. Dari Toba, Melayu dan Mandailing yang sarat adat, Minangkabau yang diplomatis, Aceh yang tegas dan spiritual, juga komunitas Tamil, Tionghoa, Nias, dan Bugis yang membawa warna, tenaga, dan khas-nya masing-masing. Tentu tidak untuk bersaing, melainkan bersanding, membentuk wajah Medan yang hidup penuh keberagaman.

Membangun Tak Harus Melupakan

Langkah Medan telah jauh. Lalu lintas yang tak pernah sepi, gedung-gedung menjulang, juga konektivitas digital yang terus tumbuh dan tumbuh. Medan tampil menjadi simpul strategis Sumatra dan sekitar. Langkah cepat itu kerap lupa menoleh ke awal tanah yang pertama kali diinjak. Oleh suara yang dulu membentuk kesehariannya, serta nilai-nilai otentik yang menjadikan kota ini tidak sekadar tempat menetap, tapi ruang hidup.

Seiring pertumbuhannya, legasi budaya yang pernah hidup kadang terdorong ke pinggir. Bahasa ibu perlahan memudar dari masyarakatnya. Kawasan tua tergeser oleh pembangunan. Ritual dan adat menjadi tampilan panggung, tradisi hanya riasan, bukan panduan. Padahal, Medan yang lahir dari perjumpaan lintas budaya. Kehilangan akar maka kehilangan arah-nya ia.

Kota modern memang dituntut efisien, dan kompetitif. Nemun membangun masa depan tak hanya cukup dengan mengandalkan kecepatan dan logika pasar. Kota bukan mesin. Ia adalah tempat manusia saling hidup. Pembangunan yang abai akar kultural bisa mengikis identitas, serta melemahkan daya tahan sosial, dalam hadapan krisis, konflik, dan tekanan global yang kian kompleks.

Tradisi penting dikembalikan ke tempat terhormatnya. Tidak terkunci di masa lalu, dan menjadi sumber nilai yang mengarah. Tradisi bukan lawan modernitas. Ia adalah jembatan, antara yang telah, dengan, sedang dan akan. Ia mengajarkan bagaimana tumbuh tanpa meninggalkan. Bagaimana maju tanpa tercerabut.

Keseimbangan ini bukan hanya mungkin, sejatinya mutlak diperlukan. Kota yang tumbuh tanpa keterpeliharaan ingatan kolektif, akan mudah kehilangan arah. Sementara kota yang tumbuh terawat legasinya, memiliki pijakan yang kukuh untuk langkah-langkah yang lebih jauh, lebih adil, sekaligus bermartabat.

Medan punya semua syarat itu. Mulai dari harmoni keberagaman yang teruji, modal sosial yang terus hidup, serta komunitas yang semakin kreatif. Kini tantangannya adalah bagaimana menjadikan itu semua bukan sekadar slogan kebanggaan, tapi dagian dari kekuatan perencanaan. Demi pembangunan yang lebih bijak, dan memihak ke semua.

Menyatukan Hulu dan Hilir

Medan tidak dibangun dalam ruang hampa. Ia lahir dari jejak panjang yang mengalir. Dari hulu-hulu budaya Sumatra sekitar, baik di kampung-kampung adat pegunungan, hingga pelabuhan-pelabuhan dagang di pesisir. Kota ini adalah hilir, tempat segala arus memuarakan percampuran. Membentuk kebaruan pola hidup masyarakat urban yang plural.

Hilir bukanlah akhir. Ia adalah ruang pertemuan yang aktif, menghidupkan nilai-nilai dari hulu, yang kemudian diolah kembali agar adaptif, hingga membentuk wajahnya kini dan di masa depan. Medan, dalam posisinya yang strategis ini, tidak semestinya hanya menjadi penampung lalu lintas ekonomi dan administrasi. Ia perlu berfungsi sebagai penyaring dan penyambung nilai. Menyambut yang datang tanpa melupakan yang tetap, dan mengolah keragaman tanpa menghapus identitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Medan Selengkapnya
Lihat Medan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun